TRADISI YANG SUDAH MEMUDAR
Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang.Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang.
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Selain itu, tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu.
Tradisi Ruwahan berisi kegiatan melaksanakan ritual yang dilakukan pada saat datangnya bulan Ruwah atau bulan Arwah. Bulan Arwah kali ini jatuh pada hari SENIN KLIWONi tanggal 10 Juni 2013. Umumnya tradisi Ruwahan dilakukan pada tanggal 1 bulan Arwah atau Ruwah. Tahun ini dilakukan pada (kalender Jawa) surya kaping 01 wulan Arwah 1946 warsa Jimakir bertepatan tanggal 10 Juni 2013 bertepatan dengan atau tanggal 01 Syaban 1434 H.
Sejenak melayangkan ingatan di sekitar tahun 1980-an. Saya masih ingat betul, apa yang selalu kami nanti-nanti setiap kali memasuki ‘Sasi Ruwah’ adalah asyiknya berebutan “ketan, kolak. apem” dengan saudara serumah.
Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang.Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang.
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Selain itu, tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu.
Tradisi Ruwahan berisi kegiatan melaksanakan ritual yang dilakukan pada saat datangnya bulan Ruwah atau bulan Arwah. Bulan Arwah kali ini jatuh pada hari SENIN KLIWONi tanggal 10 Juni 2013. Umumnya tradisi Ruwahan dilakukan pada tanggal 1 bulan Arwah atau Ruwah. Tahun ini dilakukan pada (kalender Jawa) surya kaping 01 wulan Arwah 1946 warsa Jimakir bertepatan tanggal 10 Juni 2013 bertepatan dengan atau tanggal 01 Syaban 1434 H.
Sejenak melayangkan ingatan di sekitar tahun 1980-an. Saya masih ingat betul, apa yang selalu kami nanti-nanti setiap kali memasuki ‘Sasi Ruwah’ adalah asyiknya berebutan “ketan, kolak. apem” dengan saudara serumah.
Pada era 1980 an itu kebiasaan atau katakanlah tradisi membuat ‘ketan,
kolak, apem’ masih kental dilakukan oleh hampir setiap keluarga di kampung kami.
Maka, tidaklah aneh kalau juga hampir setiap hari, keluarga kami pasti kebagian
hantaran ‘ketan, kolak, apem’ tersebut, bahkan dalam sehari kadang bisa 2 atau
3 paket yang kami terima dari tetangga.
Keluarga kami pun juga melakukan hal yang sama. Entah apapun alasan yang melatarbelakanginya. Bapak dan Ibu (meski beragama nasrani) juga membuat ‘ketan, kolak, apem’ untuk dibagikan kepada semua para tetangga sekitar dan tidak boleh ada satupun tetangga yang terlewatkan tidak dibagi. Biasanya, kami anak-anak sendiri yang menghantarkannya kepada para tetangga. Kalu dihitung, bisa 60-70 paket yang kami buat untuk dibagikan. Dan semua itu kami lakukan dengan senang hati, tanpa beban.
Keluarga kami pun juga melakukan hal yang sama. Entah apapun alasan yang melatarbelakanginya. Bapak dan Ibu (meski beragama nasrani) juga membuat ‘ketan, kolak, apem’ untuk dibagikan kepada semua para tetangga sekitar dan tidak boleh ada satupun tetangga yang terlewatkan tidak dibagi. Biasanya, kami anak-anak sendiri yang menghantarkannya kepada para tetangga. Kalu dihitung, bisa 60-70 paket yang kami buat untuk dibagikan. Dan semua itu kami lakukan dengan senang hati, tanpa beban.
Dalam ‘sasi ruwah’ itu setidaknya ada dua ‘makam’ yang selalu kami
kunjungi. Pertama, di makam Ndondong, Semaken, Kalibawang, Kulon Progo. Di mana
di tempat ini dimakamkan Eyang Kakung & Putri ‘Prawiro Dikarto’ serta Eyang Buyut dan seterusnya dari garis
Bapak saya. Makam yang tertua di tempat ini adalah makam “Eyang Suto Perbonggo”
yang kebetulan adalah “Eyang Canggah” saya. Kedua, di makam Sepujud dan Joho, di
desa Soropadan, Temanggung, Jateng. Di mana di makam Sepujud di sumarekan ‘Mbah
Haji Usman’ dan di Joho disumarekan ‘Mbah Aminah’. Beliau berdua adalah Mbah
Kakung & Putri dari garis ibu saya. Mbah Usman adalah Kaji/Haji pertama di
desa kelahiran ibu saya. Diceritakan bahwa pada saat naik haji ke Mekkah, masih
menggunakan sarana kuda dan kapal laut sebagai sarana transportasinya. Di makam
Sepujud ini, makam yang tertua adalah makam “Kyai Soropodo” yang masih Eyang
Wareng saya.
Di kedua makam ini diselenggarakan acara “Nyadran” selain reresik
makam dan tabur bunga juga diadakan acara ‘doa bersama’ oleh seluruh keluarga
yang leluhurnya di makamkan di tempat itu. Masing-masing keluarga membawa ‘beberapa
besek’ kenduri untuk dijadikan satu dan akan akan saling dibagikan kembali
sewaktu acara nyadran selesai. Pada saat semua warga bisa berkumpul, biasanya
juga diadakan ‘serkileran sumbangan sukarela’. Dana yang terkumpul akan digunakan
untuk : perbaikan jalan menuju makam, membuat talud di area makam, pembuatan
pagar makam, perbaikan masjid, dll. Tergantung dari rencana apa yang akan
dilaksanakan pada saat itu.
Pada saat ‘nyadran’ itulah, saat-saat di mana kami bisa berjumpa,
tidak hanya dengan keluarga besar kami saja tetapi juga dengan seluruh warga
dan masyarakat setempat yang sudah tersebar kemana-mana. Meskipun tidak
selengkap kalau pada hari raya ‘Bada’ atau Idul Fitri. ‘Bada’ sendiri berasal
dari kata ‘Bakda’ yang berarti ‘sesudah’. Maksudnya adalah ‘sesudah puasa’. Itulah
gambaran suasana nyadran yang dilakukan di pasarean. Kami bersama-sama
membersihkan lingkungan makam dan pusara leluhur kami masing-masing. Kami
berdoa bersama-sama yang dipimpin oleh ‘Kaum’ setempat lalu kami menabur bunga
sebagai tanda hormat dan bakti kami kepada para leluhur dan kami pulang membawa
“berkat-an” (kenduri) ke rumah kami masing-masing.
Seiring berjalannya waktu, tradisi atau kebiasaan membuat ‘ketan,kolak,
apem’ di kampung saya sudah semakin memudar. Hanya tinggal satu atau dua
keluarga saja yang masih melanjutkan warisan kebiasaan ini. Tetapi acara nyadran
di desa, baik di Kulon Progo maupun Temanggung, masih tetap kami lakukan hingga sekarang ini.
MAKNA RUWAHAN & SADRANAN
Istilah Sadranan dan atau Ruwahan mungkin bukan lagi merupakan istilah asing
bagi masyarakat Jawa atau bahkan di luar Jawa. Inti dari upacara atau kegiatan
Sadranan dan atau Ruwahan meliputi membersihkan makam, memperbaikinya, mengirimkan
doa untuk para arwah leluhur, tabur bunga, dan juga dengan kenduri. Ruwahan
sebenarnya mengacu pada nama dalam sistem penanggalan Jawa, yakni bulan Ruwah.
Dari nama ini muncullah istilah Ruwahan.
Dalam pengertian umum ruwah sering dimaknai sebagai “ngluru arwah”
atau bersilaturahmi kepada arwah. Menurut pandangan
masyarakat Jawa kata ruwah dapat juga diartikan sebagai “weruh-arwah” atau
secara bebas dapat diterjemahkan mengingat atau mengenang arwah para leluhur.
Ruwahan dalam kebudayaan Jawa juga sering dipersamakan dengan Nyadran atau Sadranan. Sadran sendiri diduga berasal dari istilah "sradda", yakni sebuah upacara ziarah kubur yang biasa dilakukan oleh umat Hindu di masa lalu. Demikian seperti makna istilah sradda dalam bahasa Sansekerta. Istilah sradda memiliki kemiripan makna dalam bahasa Kawi yang maknanya adalah peringatan hari kematian seseorang. Sradda sendiri dilaksanakan dalam dua tahapan ritual, yakni pertama berupa pelantunan doa dan pujia-pujian yang diiringi iringan musik dan tahap yang kedua (penutup berupa samadi atau mengheningkan cipta).
Pada intinya Ruwahan dan Sadranan memiliki kesamaan makna. Sekaligus kesamaan dalam praktiknya. Semuanya mengacu pada pengertian mendoakan arwah leluhur, memohon ampunan kepada Tuhan dan sesama, dan menuju kesucian diri. a.sartono (Tembi Rumah Budaya)
Menurut
sejarah, 'nyadran' adalah sebuah kata berasal dari bahasa Sanskerta “sraddha”
yang juga bisa diartikan sebagai keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat
Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal, sejatinya masih ada dan
memengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Oleh karena
itu, mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan tanggal meninggalnya
leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka yang masih hidup diharuskan
membuat sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan yang meninggal. Selanjutnya,
sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan diberi
penerangan berupa lampu (Budi Puspo Priyadi, 1989).
'Sradha'
merupakan tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga
Majapahit. Pada jaman itu Kanjeng Ratu ingin melakukan doa kepada sang ibunda
Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang telah diperabukan di Candi Jabo.
Untuk keperluan itu dipersiapkanlah aneka rupa sajian untuk didermakan kepada
para dewa. Sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi, tradisi ini dilanjutkan juga
oleh Prabu Hayam Wuruk.
Di masa
penyebaran agama islam oleh Wali Songo, tradisi tersebut kemudian diadopsi
menjadi upacara nyadran karena bertujuan untuk mendoakan orang tua di alam
baka.
Oleh sebab
itu, sudah menjadi kewajiban anak dan cucu untuk senantiasa mendoakan arwah
leluhurnya yang telah meninggal.
Pertama, Semua yang hidup pasti mati. Semua yang kita cintai akan kita tinggalkan. Istri yang cantik, suami yang gagah, anak-anak yang hebat, rumah dan mobil mewah, juga jabatan yang tinggi. Kitapun juga akan seperti mereka, berumahkan nisan-nisan. Ketika manusia itu meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara. Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak sholeh/sholekhah.
Kedua, bunga adalah simbol kasih sayang. Dan kasih sayang tidak hanya diperuntukkan bagi yang hidup.
Ketiga, belajar beramal (dengan memberi kepada orang - orang yang sudah membersihkan makam leluhur.
Di beberapa tempat di Jawa, masih terdapat masyarakat yang melaksanakan tradisi ruwahan setiap tahunnya,
mereka memiliki kepercayaan dengan mengadakan
tradisi ruwahan mereka akan mendapatkan berbagai kemudahan dalam
menjalani hidup dan kemudahan dalam hal mencari rejeki, mereka juga percaya
jika tidak mengadakan ruwahan maka akan mendapat kesulitan dalam menjalani
hidup.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa juga berkembang suatu kepercayaan terhadap roh-roh
halus yang hidup di sekitar manusia. Roh-roh halus tersebut ada yang bersifat
baik dan ada pula yang bersifat jahat. Roh-roh yang bersifat baik sering
membantu manusia misalnya menjaga desa dari berbagai gangguan, roh-roh penjaga
desa itu sering disebut dan yang pepunden desa, maupun bisa disebut pula dengan
Bureksa. Adapun roh-roh yang bersifat jahat adalah roh-roh yang cenderung
sering menggangu kehidupan manusia dimanapun berada (Koentjaraningrat).
SISI POSITIF RUWAHAN & SADRANAN
Pada
perkembangan selanjutnya, tradisi nyadran mengalami perluasan makna. Bagi
mereka yang pulang dari rantauan, nyadran dikaitkan dengan sedekah, beramal
kepada para fakir miskin, membangun tempat ibadah, memugar cungkup dan pagar
makam.
Kegiatan
tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah
mendidik, membiayai ketika anak-anak, hingga menjadi orang yang sukses. Bagi
perantau yang sukses dan kebetulan diberi rezeki berlimpah, pulang nyadran
dengan beramal merupakan manifestasi hormat dan penghargaan kepada leluhur.
Bagi umat
Islam sendiri, tradisi nyadran masih menimbulkan perdebatan. Itu karena ada dua
pendapat berbeda, dikaitkan dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Kelompok pertama
atau yang beraliran moderat, beranggapan bahwa ritual nyadran tidak perlu
dilakukan karena bertentangan dengan hadits dan as sunnah. Nyadran
sering digolongkan perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan.
Sementara menurut
kelompok kedua yang beraliran kultural, nyadran adalah kegiatan keagamaan yang
sah-sah saja, asal tidak untuk menyembah leluhur atau pekuburan.
Terlepas
dari perbedaan pendapat itu, penulis memandang perlu pelestarian tradisi
nyadran. Selain sebagai wujud pelestarian budaya adhiluhung peninggalan nenek
moyak, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi tradisi nyadran yang sangat relevan
dengn konteks kekinian.
Hal ini
karena prosesi nyadran tidak hanya sekedar gotong royong membersihkan makam
leluhur, selamatan dengan kenduri, dan membuat kue apem ketan kolak sebagai
unsur utama sesaji. Lebih dari itu, nyadran menjelma menjadi ajang silaturahmi,
wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan
nasionalisme.
Ketika
pelaksanaan nyadran, kelompok-kelompok keluarga atau trah tertentu, tidak
terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, agama, golongan, partai
politik, dan sebagainya. Perbedaan itu lebur, karena mereka berkumpul menjadi
satu, berbaur, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.
Seusai
nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di
kota-kota besar. Di sinilah ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang
di antara warga atau anggota trah.
Terasa
sekali, warga sekampung seakan satu keturunan. Spirit nyadran itu bila dibawa
dalam konteks negara, maka akan menjadikan Indonesia yang rukun, ayom, ayem dan
tenteram. Inilah sisi positif tradisi nyadran yang kental dengan kearifan lokal (Agus
Wibowo: Harian Sinar Harapan, 2008)
CATATAN TAMBAHAN :
Tradisi Mendoakan Arwah dalam Gereja Katolik
Setiap Bulan November .Gereja Katolik merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus tanggal 01 November dan memperingati arwah semua orang beriman tanggal 02 November. Kedua perayaan itu mempunyai makna yang berdekatan dan berhubungan sehingga Gereja merayakannya secara berurutan. Setelah merayakan hari raya para orang kudus (baik yang diakui oleh Gereja, yaitu Santo-Santa, maupun yang tidak/belum dikenal),mereka mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia, dengan harapan mereka dapat bergabung dengan para orang kudus di surga.
Dengan peringatan arwah orang beriman, paling tidak untukmengingatkan dan menyadarkan akan perjalanan hidup manusia yang panjang, yang akan melewati batas-batas hidup di dunia ini yang disebut kematian. Badan yang fana akan ditinggalkan tapi roh akan tetap ada. Persoalannya akan mendapat tempat dimana? Apakah akan berkeliaran saja bagaikan pengembaraan yang tiada henti atau membutuhkan tempat yang nyaman dan tentram dalam Tuhan.
Dengan mendoakan keluarga dan para leluhurnya yang telah meninggal dunia, mereka berupaya menghayati makna kematian, yaitu pintu masuk kepada kehidupan kekal. "Melalui permenungan atas akhir kehidupan di dunia ini, kita akan berjuang mencapai kesucian hidup seperti yang telah diteladankan oleh para kudus sehingga kita nanti dapat bersatu dengan mereka dalam kehidupan kekal di surga"
Rupanya hidup yang diciptakan Tuhan ini lebih luas dari apa yang kita pikirkan atau jauh melebihi batas-batas kemampuan ratio kita. Maka sukses hidup kita bukan sekedar sukses dalam dunia sebagai orang yang mempunyai jabatan, kekuasaan dan harta yang banyak. Semuanya itu tidak akan dibawa mati. Yang harus dibawa adalah amalnya dalam hidup terhadap sesama. Maka kita harus sukses sebagai manusia beriman, dan itu hanya Tuhan yang bisa mengukur.
Gereja mengajak umatnya untuk mengusahakan dalam hidup ini HARTA yang tidak bisa dimakan ngengat atau tidak bisa dicuri tetapi yang dapat dipersembahkan kepada Tuhan. Dan selain itu selama bulan arwah gereja mengajak agar umatnya selalu ingat akan saudara saudarinya (leluhur & nenek moyang) yang sudah meninggal dan mendoakannya supaya mereka mendapat kebahagiaan di Alam Keabadian (Surga) dan supaya mereka yang sudah bahagia dalam di Alam Keabadian juga menjadi pendoa-pendoa bagi kita yang masih berjuang di dunia.REFLEKSI RUWAHAN & SADRANAN
oleh : Ki Sabdalangit Ae Banyusegoro
Bagi
masyarakat Jawa khususnya bulan Arwah mempunyai makna penting sebagai momentum
bagi semua yang masih hidup untuk mengingat jasa dan budi baik para leluhur,
tidak hanya terbatas pada orang-orang yang telah menurunkan kita, namun juga
termasuk orang-orang terdekat, para pahlawan, para perintis bangsa yang telah
mendahului kita pindah ke dalam dimensi kehidupan yang sesungguhnya. Bulan
Arwah juga merupakan saat di mana kita harus “sesirih” atau bersih-bersih diri
meliputi bersih lahir dan bersih batin. Membersihkan hati dan pikiran sebagai
bentuk pembersihan dimensi jagad kecil (mikrokosmos) yakni diri pribadi kita
meliputi unsur wadag dan alus, raga dan jiwa.
Tidak hanya sebatas pembersihan level mikrokosmos,
selebihnya adalah bersih-bersih lingkungan alam di sekitar tempat tinggal kita,
membersihkan desa, kampung, kuburan,
sungai, halaman dan pekarangan di sekeliling rumah, tak lupa
membersihkan semua yang membuat kotor dan jorok dalam rumah tinggal kita. Bagi
petani tak luput pula bersih-bersih sawah dan ladang. Semua itu sebagai bentuk
pembersihan dimensi jagad besar (makrokosmos).
Selain makna
tersebut, ritual ruwahan merupakan wujud bakti dan rasa penghormatan kita
sebagai generasi penerus kepada para pendahulu yang kini telah disebut sebagai
Leluhur (Jawa) atau Karuhun (Sunda). Pelaksanaan ritual ruwahan bukan tanpa
konsep dan prinsip yang jelas. Ruwahan didasari oleh kesadaran spiritual
masyarakat kita secara turun-temurun, di mana kita hidup saat ini telah
berhutang jasa, berhutang budi baik kepada alam dan para leluhur pendahulu yang
telah mendahului kita. Tak ada cara yang lebih tepat selain harus berbakti,
setia dan berbakti kepada para leluhurnya yang telah mewariskan ilmu dan harta
benda, termasuk bumi pertiwi, yang dapat dimanfaatkan oleh anak turunnya hingga
saat ini.
Ritual tradisi Ruwahan sebagai
bukti kesetiaan dan sikap berbakti kepada lingkungan alam yang telah memberikan
berkah berupa rejeki, tempat berlindung, hasil bumi, oksigen dan sebagainya.
Karenanya hanya dengan kesetiaan serta berbakti, kita menjadi generasi penerus
yang tidak mengkhianati leluhur, bangsa dan bumi pertiwinya. Berkhianat kepada
para leluhurnya sendiri, maupun kepada bumi pertiwi di mana tempat kita
menyandarkan hidup sudah pasti akan menyebabkan suatu akibat buruk.
Pengkhianatan (ketidaksetiaan) dan kedurhakaan (tidak berbakti) yang dilakukan generasi penerus, akan
menimbulkan kesengsaraan pada diri pribadinya (mikrokosmos) dan sangat
memungkinkan tertransformasi ke dimensi makrokosmos lingkungan alamnya.
Sebaliknya, kesetiaan pada bumi pertiwi
yakni bumi di mana nyawa kita berpijak, kita hirup udara, kita mencari
makan, dan berbakti kepada para leluhur yang menurunkan kita, merupakan satu
rangkaian berupa kunci meraih kesuksesan hidup secara hakiki. Ketenangan,
ketentraman, kedamaian, kesejahteraan lahir dan batin akan berlimpah
menghampiri kita setiap saat.
APA YANG
TERJADI ?
Namun yang
paling penting dari tradisi Ruwahan yang sudah turun temurun sejak ratusan atau
bahkan mungkin ribuan tahun silam itu adalah terjadinya interaksi dan bahkan
komunikasi dua pihak. Yakni pihak orang-orang yang masih hidup dengan pihak
leluhur. Bahkan saat bulan Arwah tiba, para leluhur menghentikan “aktivitasnya”
untuk suatu “aktivitas” khusus yakni menyambut anak cucu keturunannya, maupun
semua orang yang melakukan kegiatan bakti kepadanya, yang diwujudkan dalam
berbagai kegiatan seperti membersihkan makam, sedekah dan sesaji, komat-kamit
mengucapkan doa, dikir, mengucapkan mantera dan berbagai kalimat yang keluar
dari hati nuraninya yang intinya berusaha sambung rasa dengan para leluhurnya.
Artinya sejauh apa yang dapat kami saksikan, Tradisi Ruwahan ternyata bukanlah
kegiatan yang sia-sia saja. Selain manfaat yang nyata dari kegiatan kebersihan,
sungguh ada makna tersirat yang mendalam dan manfaat inheren yang sangat besar
di dalamnya. Manfaat itu akan dialami bagi siapapun yang tulus dan
bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Sebab apa yang saya dan teman-teman
pernah saksikan, pada bulan arwah ini komunikasi dan interaksi dengan para
leluhur terjadi lebih intens. Bisa diartikan bahwa para leluhur juga menganggap
bulan arwah ini sebagai momentum rutin yang dulakukan setahun sekali untuk
lebih intens berkomunikasi dengan anak cucu keturunan dan semua orang yang
menghaturkan sembah bekti kepadanya. Itu artinya, leluhur mencurahkan perhatian
kepada siapapun yang mewujudkan sembah baktinya kepada leluhur.
Perhatian
leluhur tidak sekedar “sowang-sowang nyawang saka kadohan” atau mengikuti sepak
terjang kehidupan anak cucu keturunannya, lebih dari itu, mereka bahkan
membimbing dan mengarahkan apabila anak cucu keturunannya akan menempuh jalan
yang salah. Leluhur yang semakin tinggi derajat kemuliaannya tentu akan lebih
mampu melakukan segala sesuatu kepada anak cucu keturunannya dan semua orang
yang berbakti kepadanya. Anda jangan pernah pesimis tidak yakin apakah
leluhurnya ada yang berprestasi meraih kemuliaan yang sejati. Di antara sekian
ribu leluhur kita tentu tidak hanya satu dua saja yang mencapai kamulyan
sejati.
Persoalannya kemudian ada pada diri kita masing-masing, apakah masih
mau menganggap penting sikap berbakti pada leluhur ataukah sebaliknya
menganggap mereka sudah tak bisa apa-apa lagi, nun jauh di negeri antah
berantah, tak bisa lagi berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak cucu
keturunannya. Atau sikap lebih ekstrim yang menganggap interaksi dan kehadiran
leluhur sebagai perwujudan godaan iblis setan jin peri prayangan. Jika demikian
yang terjadi sangat mungkin leluhur sudah enggan membimbing dan mengarahkan
kita sehingga sikap ekstrim kita semakin menjadi-jadi. Namun juga tak jarang terjadi
sebaliknya, pada saat ada salah satu anak keturunannya bersikap terlampau
ekstrim, ada satu dua leluhurnya yang kemudian menyadarkannya.
TATA CARA
TRADISI RUWAHAN
Tradisi
Ruwahan mempunyai tatacara yang sederhana saja. Yakni diawali dengan membuat
sesaji, yakni sesuatu yang bermakna. Berupa kolak pisang, kolak ubi jalar,
ketan kukus, serta makanan tardisional bernama kue apem. Kolak pisang dan ubi
jalar berupa kolak kering (hanya direbus dengan air gula dan santan kelapa,
jangan lupa ditambah sedikit garam agar lebih nikmat). Dapat juga ditambahkan
dan ditambahkan sedikit garam, kayu manis, dan cengkeh. Sementara itu kue apem
dibuat dengan bahan dasar terdiri dari tepung beras, gula jawa atau gula merah,
bisa juga ditambah santan kelapa dan parutan kelapa sesuai selera. Adapula yang
menambahkannya dengan buah nangka ke dalam adonan kue apem. Selanjutnya adonan
dicetak bundar-bundar di atas tungku api. Untuk ketan, cukup dikukus atau
diliwet sebagaimana umumnya memasak ketan. Lihat gambar. Setelah ubo rampe
sesaji ruwahan selesai dibuat dan siap saji, selanjutnya siap untuk
dibagi-bagikan kepada para tetangga. Upayakan kita berbagi minimal kepada 7 kk,
sukur bisa lebih hingga 17 kk. Seluruh sesaji itu seluruhnya berupa makanan
tradisional. Mengapa demikian, tentu saja leluhur yang hidup di masa lalu
kemungkinan besar makanan favoritnya sebatas sebagimana sesaji yang ada di
dalam tradisi ruwahan itu. Barangkali kelak jika kita semua telah menjadi
leluhur akan mempunyai selera makanan yang berbeda. Hal itu menentukan pula
ragam sesajinya. Karena leluhur dapat menyampaikan pesan-pesan kepada anak cucu
keturunannya atau orang-orang yang mampu berkomunikasi. Ada yang melalui mimpi,
bisikan atau wisik, melalui suatu pertanda alam, melalui rasa sejati, dan bahkan
melalui penglihatan visual. Selain alasan di atas, makanan tradisional yang
dipilih dalam sesaji tentunya masing-masing mempunyai arti. Sehingga dapat
dikatakan, makanan atau ragam sesaji merupakan bahasa simbul yang dapat
mewakili sejuta kata dan ribuan kalimat. Dengan sesaji, maksud dan tujuan yang
sangat luas jika dijabarkan satu-persatu, dikemas menjadi ringkas padat dan
berisi. Sebagaimana pepatah dalam spiritual Jawa yang mengatakan,”ngelmu iku
yen ginelar bakal ngebaki jagad, yen ginulung sak mrico jinumput”. Ilmu jika
digelar akan memenuhi jagad raya, jika dilipat (diringkas) dapat menjadi
sekecil biji merica.
Ketan; “ke-mut-an” artinya terkenang,
teringat. Maksudnya teringat akan apa yang dilakukan di masa lalu. Jangan
melupakan sejarah (jasmerah), yakni jasa kepahlawanan, pusaka warisan, dan
peninggalan para leluhur yang hidup di masa lalu. Yang dapat dinikmati oleh
generasi penerus, anak turunnya yang hidup di masa kini. Ketan bersifat lengket
bermakna pula harapan adanya tali rasa yang akan menjadi perekat hubungan
antara leluhur dengan anak cucu keturunannya dan semua orang yang menghaturkan
sembah bakti kepadanya. Bahasa prokemnya “keep contact”.
Kolak pisang ; mewakili pala gumantung, hasil
bumi yang buahnya menggantung. Dibuat untuk mengingatkan kita selalu teringat
akan kesalahan (Jawa; keluputan) yang pernah kita lakukan kepada orang tua dan
para leluhur serta kepada Sang Jagadnata. Sehingga kita menjadi orang yang
selalu mengevaluasi diri dan setiap saat mau berbenah diri. Selain itu, pala
gumantung mengingatkan kita supaya batin dan rasa sejati masih tetap tersambung
dengan Gusti Sang Jagadnata, termasuk kepada para leluhurnya yang telah hidup
di alam sejati. Pisang sebagai pala gumantung mengingatkan kita, hendaknya
selalu memiliki sifat tabiat langit atau angkasa. Sebagaimana telah saya
posting di dalam Pusaka Hasta Brata, dikiaskan sebagai mulat laku jantraning
akasa. (lihat dalam Pusaka Hasta Brata).
Kolak ubi jalar ; mewakili pala kependem, hasil bumi
yang buahnya berada di dalam tanah. Dibuat untuk melambangkan adanya kesalahan
para leluhur kepada sesama manusia. Selain itu, pala kependem, memiliki pesan
bahwa manusia hendaknya tetap berpijak di bumi. Memiliki sifat-sifat humanis,
serta mulat laku jantraning bumi, yakni perilaku manusia yang andap asor tidak
sombong, congkak, takabur, sikap mentang-mentang, golek benere dewe, golek
butuhe dewe, golek menange dewe.
Sebaliknya harus mencontoh sifat-sifat bumi yang selalu memberikan
berkah sekalipun bumi diinjak-injak oleh manusia dan seluruh makhluk
penghuninya. Pala kependem yang diolah menjadi makanan kolak ubi jalar,
mengingatkan kita hendaknya menjadi orang selalu melakukan “tapa mendhem”
(bertapa mengubur diri) yakni mengubur segala amal kebaikan yang pernah kita
lakukan pada orang lain dari ingatan kita. Agar supaya tidak mencemari
ketulusan kita dan di suatu saat tidak membangkit-bangkit kebaikan kita pada
orang lain. (lihat dalam Pusaka Hasta Brata).
Apem ; dibuat untuk melambangkan adanya harapan
suatu ampunan akan kesalahan di masa lalu. Kue apem berbentuk bundar atau bulat
melingkar. Sebagai perlambang adanya kebulatan tekad dalam melaksanakan ritual,
yakni kemantaban hati untuk mewujudkan rasa berbakti kepada leluhur bukan hanya sebatas
lips-service, sebatas ucapan dan kata-kata dalam doa. Lebih dari itu
diwujudkanlah dalam sikap, tindakan, dan perbuatan nyata dalam kehidupaan
sehari-hari, dalam hal ini kegiatan bersih-bersih meliputi jagad kecil dan
jagad besar. Di dalam kue apem terdapat bahan-bahan berupa beras ketan,
kelapa/santan, gula dan sedikit garam, serta bahan pengharum makanan. semua
bahan dibuat adonan, kemudian dibakar dalam cetakan bundar-bundar. Semua itu
memuat pesan yakni adanya proses dalam kehidupan dan pentingnya penyelarasan
dan harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar dalam kehidupan semesta
ini.
Berbagi Sedekah. Selanjutnya semua ubo rampe dapat
dikemas dalam dus, atau cukup disajikan di atas piring untuk selanjutnya
dibagi-bagikan kepada para tetangga. Maknanya adalah manusia hidup di bumi ini
hendaknya mau saling berbagi, bersedekah, dan berwatak saling mengasihi, welas
asih, asah asih asuh kepada sesama dan seluruh makhluk.
Setelah
berbagi makanan ubo rampe sesaji tersebut kepada para tetangga, barulah selanjutnya
diisi dengan kegiatan ziarah atau menabur bunga ke makam para leluhurnya
sendiri satu persatu. Ziarah bisa dilakukan pada hari berikutnya, karena
waktunya tersedia cukup leluasa hingga sebulan penuh selama bulan Arwah belum
habis.
MAKNA RITUAL
Selama bulan
arwah atau Ruwah, masyarakat melakukan ritual bersih-bersih desa, kampung,
makam, dan rumah.
Bersih-Bersih Makam; merupakan wujud kesetiaan dan rasa
berbakti generasi penerus atau anak turun kepada para leluhurnya. Kesetiaan dan
bakti akan tumbuh seiring kesadaran spiritual seseorang yang dapat memahami
betapa kita hidup sekarang ini telah berhutang budi, berhutang nyawa, berhutang
kemerdekaan bangsa, berhutang hutan yang hijau dan tidak rusak, sungai yang
jernih, lautan masih menyimpan kekayaaan besar, berhutang budi baik dan
pengorbanan, maupun berhutang harta benda warisan dari orang-orang yang
menurunkan kita semua. Bersih-bersih makam merupakan salah satu cara berbakti
yakni untuk membalas kebaikan para leluhur atau pendahulunya.
Bersih-bersih sungai, desa, ladang
dan rumah; merupakan
wujud penghargaan dan rasa terimakasih kita kepada alam, kepada bumi yang telah
melimpahkan rejeki bagi manusia. Tanah yang subur, hutan yang menghijau,
sungai-sungai mengalir jernih. Semua itu merupakan berkah agung dari Sang Hyang
Jagadnata, berkah yang masih mengalir karena perilaku dan sikap bijaksana para
leluhur pendahulu bangsa yang hidup di masa lalu. Mereka tidak merusak dan mengeksploitasi hutan,
gunung, sungai, lautan karena kesadaran super-egonya bahwa anak cucu
keturunannya, dan generasi penerus bangsa kelak masih sangat membutuhkan semua
itu. Al hasil, anak turunnya, generasi penerus bangsa di masa kini masih bisa
merasakan limpahan anugrah agung tersebut di masa kini. Lantas pertanyaannya, apakah yang telah
dilakukan oleh generasi sekarang serupa dengan apa yang dilakukan leluhur para
pendahulu kita di masa lalu ?
Ziarah/Nyekar, atau menabur bunga di pusara
leluhur. Kegiatan itu bermakna sebagai “atur sembah bekti” atau sikap
menghaturkan rasa berterimakasih, sikap berbakti, sekaligus wujud nyata rasa
welas asih, dan penghormatan setingginya atas seluruh jasa dan budi baik
leluhur di masa lalu. Meskipun menabur bunga belumlah sebanding dengan jasa-jasa leluhur kepada
kita semua, kepada bangsa ini namun hal itu masih lebih berharga daripada hanya
sekedar di rumah duduk manis sambil komat-kamit mengirim doa. Itu namanya
perilaku golek penake dewe, lebih suka mencari-cari alasan pembenar atas
sikapnya yang selalu mencari enaknya sendiri, daripada berkorban beaya, waktu
dan berusaha yang nyata. Ironisnya “penyakit kejiwaan” golek benere dewe
seperti itu biasanya menjadi lahan subur untuk bersemainya sikap pamrih
dibarengi harapan-harapan tidak realistis & melambung tinggi. Lantas
bagaimana seseorang bisa belajar tentang arti sebuah ketulusan ? Saya yakin
para pembaca yang budiman di sini sudah menjadi pribadi yang merdeka dari
hegemoni “penyakit jiwa” semacam itu. Hingga menyelesaikan membaca tulisan
sampai pada baris kalimat ini.
(Silakan link ke : http://sabdalangit.wordpress.com/category/javanese-tradition/memahami-tradisi-bulan-arwah/)
JSP-KKS
10 Juni 2013
(Silakan link ke : http://sabdalangit.wordpress.com/category/javanese-tradition/memahami-tradisi-bulan-arwah/)
JSP-KKS
10 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar