Selasa, 17 September 2013

GUGURNYA SANG KSATRIA

Arjuna, tatalah rasa hatimu! 
Hari ini sudah sampai waktumu harus meladeni tanding dengan kakakmu, Adipati Karna. 

Kanda, bagaimanakah hamba dapat melayani tanding yuda dengan kanda Adipati Karna. Suasana beginilah yang selalu mengingatkanku akan Ibu Kunti keluh Arjuna.

Kresna telah tahu apa yang melatar belakangi maksud dari keberpihakan Karna terhadap Kurawa. Hal itu telah ia dengar sendiri tatkala ia bertemu dengannya empat mata, ketika ia telah usai menjadi duta terakhir sebelum pecah perang. Semuanya bagi Kresna sudah tidak ada hal yang meragukan. Namun ia tidak mengatakan apapun tentang itu terhadap Arjuna.

Adikku, hari ini pejamkan matamu, tutuplah telingamu. Kamu hanya wajib mengingat satu hal, darma seorang satria yang harus mengenyahkan kemurkaan. Walaupun saudaramu itu adalah salah satu saudara tuamu, tetapi ia tetaplah ada pada golongan musuh. Dan ketahuilah, bahwa majunya kakakmu Adipati Karna itu, tidak seorangpun yang ditunggu, kecuali dirimu. Dan tidak ada seorangpun di dunia ini yang diwajibkan untuk mengantarkan kematiannya, kecuali dirimu.

Mari aku dandani kamu sebagaimana layaknya seorang senapati, dan akulah yang akan menjadi kusirmu. Selesai berdandan busana keprajuritan, segera mereka menaiki kereta Prabu Kresna, kereta Jaladara. Kereta perang dengan empat ekor kuda yang berasal dari empat benua yang berwarna berbeda setiap ekornya, merupakan hadiah Para Dewa. Bila dibandingkan dengan kereta Jatisura milik Adipati Karna yang telah remuk dilanda tubuh Gatutkaca, kesaktian kereta Jaladara bisa berkali kali lipat kekuatannya.

Suasana berkembang makin hening, diangkasa telah turun para dewata dengan segenap para durandara dan para bidadari. Mereka hendak menyaksikan peristiwa besar yang terjadi dipadang Kuru. Sebaran bunga bunga mewangi turun satu satu bagai kupu kupu yang beterbangan.

Karna yang melihat kedatangan Arjuna berhasrat untuk turun dari keretanya. Kresna yang melihat keraguan memancar dari wajah Arjuna mengisyaratkan untuk menyambut kedatangannya. Berkata ia kepada Arjuna : Lihat! Kakakmu Adipati Karna sudah turun dari kereta perangnya, segera sambut dan ciumlah kakinya.

Arjuna segera turun berjalan mendapatkan kakak tertua tunggal wadah dengannya. Baktiku kanda Adipati, Arjuna duduk bersimpuh dihadapan Adipati Karna setelah menghaturkan sembahnya.

Arjuna, seumpama aku seorang anak kecil, pastilah aku sudah menangis meraung-raung. Tetapi beginilah orang yang menjalani kewajiban. Aku bela diriku membutakan mata menutup rasa hati untuk mencapai kamukten. Sekarang aku sudah mendapatkannya dari Dinda Prabu Duryudana. Dan sekarang aku harus berhadapan dan tega berkelahi sesama saudara sekandung! Karna menumpahkan isi hatinya.

Kanda Adipati, hamba disini memakai busana senapati bukan untuk menandingi paduka kanda Prabu. Tetapi membawa pesan dari ibu kita, Kunti, untuk kembali berkumpul bersama saudara paduka Para Pandawa. Air mawar bening pembasuh kaki sudah disiapkan oleh adik adik paduka, Kanda Adipati. Arjuna mencoba meluluhkan hati kakak tunggal ibu itu.

Kembali Adipati Karna menegaskan apa yang terrasa didalam hatinya.

Lihat, air mataku jatuh berlinangan. Tetapi aku katakan, tidak tepat apa yang kamu katakan. Sudah berulang kali kamu memintaku untuk berkumpul bersama sama dengan saudaraku Pandawa. Begitu juga dengan Kanda Prabu Kresna, yang ketika itu datang kepadaku dan bicara empat mata. Sekarang sama halnya dengan dirimu, yang juga kembali mengajakku untuk berkumpul bersama. Bila aku menuruti permintaanmu, hidupku akan seperti halnya burung yang ada dalam sangkar emas. Tetapi hidupku tidak bisa bebas. Hidupku hanya kamu beri makan dan minum belaka. Apakah kamu senang bila mempunyai saudara dengan keadaan seperti yang aku katakan?
.
Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Sesaat kemudian Karna melanjutkan.Tak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengantarkan aku menuju alam kematianku, kecuali hanyalah dirimu, dinda Arjuna! Dan bila aku nanti mati dalam perang tanding itu, sampaikan baktiku pada ibunda Kunti, yang tak sekalipun aku memberi ketentraman batin dalam hidupnya .

Serak terpatah patah suara Adipati Karna ketika ia melanjutkan curahan isi hati terhadap Arjuna. Kembali susana menjadi hening. Akan tetapi tiba tiba ia berkata dengan nada tegas.

Hari ini adalah hari yang baik. Ayolah kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih perwira, lebih bertenaga, lebih sakti!

Kanda, berikan kepadaku seribu maaf atas kelancangan hamba berani dengan saudara yang lebih tua. Kembali Arjuna menghaturkan sembah, berkata ia, yang kemudian mengundurkan diri kembali menaiki kereta Jaladara.

Maka perang tanding dengan andalan ketepatan menggunakan anak panah berlangsung dengan seru. Keduanya sesama putra Kunti tidak sedikitpun berbeda ujudnya dalam busana keprajuritan. Keduanya menggunakan topong yang sama, sehingga banyak prajurit yang sedari tadi berhenti menonton sulit untuk membedakan yang mana Arjuna dan manakah yang Karna, kecuali pada kereta yang dinaikinya.

Pada suatu ketika topong kepala Adipati Karna terpental terkena panah Arjuna. Sejenak Karna meminta Prabu Salya untuk berhenti, dan berkata.
Rama prabu, hampir saja hamba menanggung malu. Topong kepala hamba terpental oleh panah adi Arjuna. Sudah aku katakan, tak hendak aku ikut campur dalam peristiwa ini. Aku hanya kusirmu. Tapi kali ini mari aku benahi rambutmu biar aku gelung. Setengah hati Prabu Salya mendandani kembali putra menantunya.

Kembali adu ketangkasan olah warastra berlangsung. Kali ini Kunta Wijayandanu ada ditangan Karna. Waspada Prabu Salya dengan melihat senjata kedua setelah Kunta Druwasa yang telah sirna digunakan oleh Adipati Karna ketika berhadapan dengan Gatutkaca. Maka pada saat menantunya itu melepas anak panah, kendali kereta ditarik, kemudian kuda melonjak. Panah yang sejatinya akan tepat mengenai sasaran, hanya mengenai topong kepala Arjuna dan mencabik segenggam rambutnya.

Aduh Kanda Prabu, topong hamba jatuh terkena panah kanda Adipati. Apakah ini sebagai perlambang kekalahan yang akan menimpa hamba? Arjuna menanyakan.

Bukan ! Itu peristiwa biasa. Biarlah aku tambal rambutmu dengan rambutku. Sekarang aku akan menggelung rambutmu kembali, Jawab Kresna, yang kemudian menerapkan kembali gelung rambut baru pada kepala Arjuna.

Kembali kedua putra Kunti berdandan dengan cara yang sama. Semakin bingung para yang melihat pertempuran dua satria yang hampir kembar itu. Bahkan para dewata dan segenap bidadari dan durandara, melihatnya dengan terkagum.

Adu kesaktian telah berlangsung lama, segala macam kagunan dan ilmu pengabaran telah dikeluarkan. Saling mengimbangi dan saling memunahkan kawijayan antara kesaktian mereka berdua. Namun Arjuna masih memegang satu senjata yang belum digunakan. Itulah panah Kyai Pasupati, yang bertajam dengan bentuk bulan sabit.

Arjuna ! Kresna memberikan isyarat, Sekaranglah saatnya!. Hanya sampai disini hidup kakakmu Adipati. Segera lepaskan senjatamu Pasupati untuk mengantarkan kakakmu ke alam kelanggengan!.

Panah Pasupati telah tersandang pada busur gading Kyai Gandewa, lepas anak panah berdesing bagai tak terlihat. Walau Arjuna melepaskannya sambil memejamkan mata karena tak tega dan rasa bersalah, namun panah dengan bagian tajam yang menyerupai bulan sabit itu mengenai leher Adipati Karna. Tajamnya Kyai Pasupati tiada tara, sampai-sampai, kepala Adipati Karna dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya tak bergeser sedikitpun dari lehernya.

Jatuh terduduk jasad Adipati Karna bersandarkan kursi kereta. Geragapan Prabu Salya yang merasa khawatir dan setengah bersalah. Turun dari kereta ia, kemudian menghilang dari pabaratan, kembali ke Bulupitu.

Kidung layu layu kembali mengalun di Padang Kuru, awan mendung yang menandai pergantian musim telah menitikkan airnya walau hanya rintik rintik.

Meski begitu, rintik hujan itu sudah cukup menandai kesedihan yang melingkupi Para Pandawa.

Bagaimanapun Karna-Suryatmaja adalah saudara sekandung, walau ia terlahir bukan atas keinginan sang ibu.

Meski demikian, ia adalah sosok yang sudah memberi warna kepada orang orang disekitarnya dan para saudara mudanya.

Ia adalah sosok yang tegar dan teguh dalam memegang prisip kesetiaan kepada Negara yang telah memberinya kemuliaan hidup. Tetapi sekaligus ia tokoh yang kontroversial, sebab ia adalah tokoh yang secara tersamar menegakkan prinsip, bahwa keangkaramurkaan harus tumpas oleh laku kebajikan.

Ia telah menyetujui bahwa perang Baratayuda harus terjadi, sebab dengan demikian ia telah mempercepat tumpasnya laku angkara yang disandang oleh Prabu Duryudana. Raja yang telah memberinya kemukten.

16.09.13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar