Selasa, 17 September 2013

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU - 2

Lahirnya : RAHWANA, KUMBAKARNA dan SARPAKENAKA

Maka rasa malu keduanya untuk berhadapan dengan mereka yang dicintai, harus tetap dilakukan. Sang Begawan harus mohon maaf, harus mencium kaki sahabatnya sendiri, Prabu Sumali. Dan harus minta maaf pada anaknya sendiri, Prabu Danareja, sebagai raja Lokapala.

Sementara itu di Alengka, di dalam istananya yang megah, Prabu Sumali muncul kerinduannya yang sangat pada puterinya. Dan kerinduan yang menggelisahkan Prabu Sumali, bersamaan dengan masuknya Betari Uma ke dalam jagad kewanitaan Dewi Sukesih.

”Wahai sang Dewa, mengapa puteriku yang kucintai hingga hari ini belum juga pulang. Sedangkan Semua rakyat menunggu anakku dalam membawa oleh-oleh dipedarnya Sastra Jendra Hayuningrat. Sekalipun darah para raja tidak mengalir lagi di tanah Alengka ini, namun kerinduanku pada puteriku laksana genangan darah yang tak mampu mengalir. Mengapa aku gelisah wahai Dewa Maha Agung aku merindukan puteriku dengan segala kegelisahan. Jangan Engkau jadikan kegelisahanku sebagai ayah, menjadi kenyataan, Wahai Dewa Agung.”

Demikian ungkapan perasaan Prabu Sumali yang sedang dilanda kegelisahan. Di puncak kekhawatiran Prabu Sumali yang menanti penuh harap-harap cemas kepulangan puteri tercinta. Datanglah Dewi Sukesih bersimpuh di kaki ayahandanya, menangis dengan segala jeritan.

”Wahai Ayahanda, aku menciptakan bencana dan aku terbentur bencana, yang diciptakan dari keinginan dan keyakinanku sendiri.”

Betapa terkejut Prabu Sumali, ”Ada apakah gerangan wahai anakku.”

”Aku menciptakan bencana wahai ayahda, bencana yang memporak-porandakan semua yang kumiliki. Kini anakmu tak memiliki apa-apa, selain noda-noda dosa dan berkas-berkas syahwat yang begitu agung bercokol dalam jiwaku wahai ayahanda”, Kata Dewi Sukesih diantara sedu sedannya.

”Terangkanlah musibah itu, wahai Puteriku”, kata sang ayah, Prabu Sumali. Namun Dewi Sukesih diam…..terbungkam. Dalam diamnya air matanya tetap mengalir, tapi air mata darah yang terus menetes, mengalir. Ruang-ruang megah dari istana raja yang penuh dengan hiasan dan permadani yang indah, tegenang darah air mata sang Dewi. Alam diam. Dunia sepi. Semua rakyat tidur dalam kesyahduan. Bulan padam. Matahari padam. Kehidupan pun terhenti.

Tinggallah cekam kesepian yang begitu merasuk dari jiwa ketakutan sang ayah menimbulkan goncangan-goncangan yang sangat hebat dalam dadanya.

Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.

Pengulangan kembali peristiwa Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, sekaligus ”berulang” dengan melibatkan sang raja. Dari cerita dua tokoh lelaki-wanita dari peristiwa panjang sampai bencana. Alam bercerita kembali tentang peristiwa itu, yang langsung dirasakan oleh Prabu Sumali.

Seusai pengulangan peristiwa itu, Prabu Sumali pun bersujud kepada Sang Dewa Agung, Sang Hyang Widhi.

”Wahai Hyang Maha Agung, Dewa, Batara, apakah ini sebuah perbuatan dari harga manusia, atau ada keterlibatan Engkau dalam mengobarkan, membangunkan api-api birahi yang ada dalam diri kami. Aku tak percaya, sahabatku yang begitu suci, yang mulia akhlaknya, yang suci ibadahnya, yang sempurna dalam meninggalkan kekuasaan kekayaan. Harus terlena oleh peristiwa itu, aku tak percaya! Pasti…….ada keterlibatan Engkau, wahai Dewa Agung di Nirwana.”

Demikianlah Prabu sumali berkata dalam sujudnya. Begitu sujudnya selesai, sang Prabu pun bangkit berdiri.

Tak lama kemudian, sahabatnya, Resi Wisrawa, sujud dipelukan kaki sang Prabu. Maka diangkatnya sahabatnya, dipeluknya.

”Wahai sahabatku, jangan engkau sesali semua ini, karena kita berangkat dari noda, jangan terlalu berharap banyak untuk mencapai kesucian seperti para Dewa. Biarkanlah kesucian menjadi keangkuhan para Dewa di Nirwana.” Sang Prabu Semakin erat memeluk sahabatnya.

”Jangan menyesal, aku tidak saja memaafkan engkau. Tapi cinta aku dalam jiwa sebagai sahabat tambah sempurna untuk mencintai engkau, begitupun cinta aku kepada puteriku. Puteriku korban dari harapannya sendiri. Biarkanlah para Bidadari mengutuk puteriku, tetapi aku yakin, suatu saat puteriku akan mengalahkan harkat Bidadari Kahyangan semuanya. Wahai puteriku, bangunlah, peluklah aku, jangan malu.”

Sang Dewi pun memeluk ayahandanya, di dadanya dia bersandar. Maka tumbuhlah perasaan tentram, setentram bayi dalam pelukan pelindungnya. Sang Dewi pun tenggelam dalam kesempurnaan cinta seorang ayah.

”Wahai puteriku, siapapun engkau dengan noda dosa yang sangat tinggi, cintaku tidak pernah berubah. Cintaku tambah tinggi karena aku tahu engkau memiliki kecintaan kepada rakyat, dan aku tahu engkau memiliki kecintaan kepada orang tuamu, melampaui saudara-saudaramu, melampaui cintanya rakyat kepadaku sebagai raja, dulu. Dan akupun mampu meninggalkan kekuasaan tahta, harta, serta ibumu. Itu adalah karena dorongan cintamu yang agung untuk segera meninggalkan istana, dan segera menuju pertapaan. Itu adalah jasamu, anakku. Dan ini akan menyelamatkan engkau dan mengalahkan keagungan bidadari yang ada di Kahyangan. Senyumlah, puteriku…..”, Sang Prabu mengangkat wajah Dewi Sukesih, ”Senyumlah….”, sang Dewi pun tersenyum.

”Teruskanlah perjalananmu bersama suamimu. Dan engkau wahai sahabatku, bertanggung jawablah, bahwa inilah isterimu. Walaupun engkau tidak dinikahkan oleh alam dan sang dewa. Tapi engkau akan dinikahkan oleh cinta aku sebagai sahabatmu. Wahai Begawan dan engkau wahai Puteriku, akan kunikahkan dengan cinta yang agung, yang pernah engkau berikan padaku, itulah mahar.”

Tak lama kemudian, Prabu Sumali mempersilakan keduanya berangkat.

”Berangkatlah menuju kepada kehidupan. Jemputlah darah-darah yang akan mengalir ke muka bumi ini. Wahai puteriku, tampunglah darah-darah para wanita, engkau membuktikan diri kepada para Dewa. Membuktikan bahwa engkau mampu lebih agung daripada para Bidadari, bahkan dari para Dewa itu sendiri. Berangkatlah, tundukkan dunia ini dengan darah yang engkau tampung, jangan coba kau tundukkan dengan kesucian Sastra Jendra”, kata Sang Prabu mengakhiri pesannya.

Setelah berpamitan maka berangkatlah keduanya, melanjutkan perjalanan.

Sedangkan dikerajaan Lokapala, sang raja Prabu Danareja duduk tercenung, melamun. Makanan yang disiapkan oleh ibundanya, tak disentuh. Hari demi hari hingga datangnya bulan, sang anak puasa.

”Wahai anakku”, kata sang Ibu, ”mengapa engkau biarkan dirimu tersiksa oleh puasa?”

”Ibu, aku sangat merindukan kekasihku Dewi Sukesih. Kapankah Ayahanda dan Dewi Sukesih pulang. Kerinduanku pada Dewi Sukesih melenyapkan seleraku pada makanan apapun. Apapun kenikmatan dunia tak ada artinya dibandingkan kerinduanku kepada kekasihku, Dewi Sukesih.”

”Wahai anakku, ayahmu pasti berhasil membawa Dewi Sukesih. Dan aku ini, ibumu, telah membuktikan kepatuhan dan janji yang benar dari ayahmu. Sebagai wanita, sebagai isteri aku puas, sebagai orangtua anak-anakku, ayahmu telah menghantar aku ke alam yang sangat tinggi dari kenikmatan harkat wanita. Apalagi engkau sebagai anaknya, pasti diangkat lebih tinggi.”

Namun betapa kaget keduanya, ketika ada yang datang, yang ternyata adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.

”Mengapa mata ayah demikian redup?”, berkata Prabu Danareja, ”Dimana kegagahan Ayah?”

”Wahai anakku, aku telah mencuri cinta, mencuri cinta kepada anakku sendiri. Cintamu kepada dewi Sukesih telah aku curi. Sekarang kekasihmu adalah ibu tirimu.” Maka sujudlah Begawan Wisrawa kepada anaknya sendiri.

Sang anak tak mampu berkata-kata, diam seribu basa, sudah tidak ada lagi perasaan apapun dalam jiwanya. Dirinya sudah menjadi patung yang tidak mempunyai rasa hidup. Dirinya tak dapat menyalahkan ayahnya ataupun menyalahkan Dewi Sukesih, karena jiwanya menjadi batu yang tak punya rasa.

”Wahai anakku Danareja, ampunilah ayahmu ini. Ayahmu gagal dalam memenuhi keinginanmu. Namun biarlah semua apa yang aku raih sebagai manusia dalam tapaku, dalam meninggalkan kemasyhuran tahta dan harta. Maka seandainya Hyang Widhi memberikan nilai-nilai kepada aku, biarkanlah aku berikan kepadamu, wahai anakku. Biarkanlah aku tidak ada arti selama alam raya ada, sampai aku bertemu dengan Hyang Widhi nanti. Biar kemegahan di hadapan Tuhan engkau yang merasakan, wahai anakku. Karena diantara noda dosaku, aku merasa lebih cinta kepada anakku. Engkau adalah kulahirkan dengan kesucian jiwaku. Namun engkau dihancurkan harapanmu, oleh rasa ayah yang dapat menyelamatkan anaknya.”

Kemudian sang Begawan bersimpuh kepada isterinya,

”Maafkanlah aku, wahai isteriku.”

”Wahai kanda”, berkata sang isteri, ”Tiada yang harus engkau ungkapkan. Namun cintaku yang murni, dalam kerinduan begitu utuh dan indah manakala kerinduanku sebagai wanita muncul. Dan aku tenang dengan cinta itu karena engkau, wahai suamiku, sedang bertapa dalam Sastra Jendra Hayuningrat. Namun kali ini cintaku merasa di uji. Yang berarti aku tidak perlu lagi merindukan dirimu. Manakala aku paksakan merindukan cinta pada suamiku, berarti aku harus berhadapan dengan cemburu, karena engkau telah memiliki isteri yang baru. Biarkanlah cinta ini akan kugenggam. Kalaupun aku rindu kepadamu, itu adalah kerinduan dari kenangan masa lalu kita. Biarkanlah cinta ini aku persembahkan teruntuk Sang Hyang Wenang. Maka tidak ada ampunan dariku. Pergilah, aku pun seharusnya seperti isterimu Dewi Sukesih, namun aku lebih beruntung karena aku telah dihantar oleh harkat.”

Dewi Sukesih dihantar kesombongannya dalam merasa dirinya mampu memedar Sastra Jendra Hayuningrat.

Maka kedua orang ini berjalan setapak demi setapak di muka bumi ini. Hingga di suatu saat datanglah suara atau wangsit dari Kahyangan. Batara Narada menyampaikan wangsit Sabdo Palon pada keduanya :

”Wahai anak-anaku, jangan sesali kemalanganmu, apakah engkau lupa wahai anakku. Kemalangan adalah hak setiap penduduk bumi, hidup itu sendiri adalah kemalangan. Wahai anak-anakku! Dunia adalah kemalangan, kamu harus ramah terhadap kemalangan. Jangan engkau lawan kemalangan. Kalau engkau ingin mendapatkan pengakuan penghormatan dari Sang Hyang Wenang, terimalah kemalangan sebagai kesadaran kehidupan di muka bumi ini. Karena kemalangan menyimpan rahasia kebahagiaan, kebahagiaan mereka yang ada di muka bumi, itu ada di balik kemalangan. Jangan engkau lawan, akrabilah, hingga kemalangan memberikan permata kebahagiaan kepada engkau”, Sabda Batara Narada.

”Wahai anakku, setinggi apapun harkat manusia, setinggi apapun ilmunya, ibadahnya, dharmanya, itu tak akan mampu mencari jatidirinya, karena jatidiri semakin dikejar semakin jauh. Jatidiri adalah dekat dalam jauh, jauh dalam dekat. Kau harus pandai-pandai melihat dimana ada jatidiri, tapi jangan mencoba memetik. Jatidiri bukan milik makhluk tapi milik Sang Hyang Tunggal”, demikian Sabda Palon dari Batara Narada.

”Dan engkau pun lupa wahai anak-anakku, kejahatan adalah bagian nafas kehidupan manusia. Segala apapun nilai-nilai yang suci dan benar, itu tetap ada dalam nafas kejahatan. Karena dagingmu menghirup udara kejahatan, darahmu mengecap udara kejahatan, fikiranmu menerima air kajahatan. Dan jiwamu adalah samudera kejahatan”, sabda Batara Narada,

”Dharma yang luhur dan agung tetap harus tersimpan dalam gelombang kejahatan. Karena itu anakku, kejahatan jangan kau lawan. lkutlah dengan kejahatan, tetapi manakala kejahatan akan menghancurkanmu, simpan dulu kejahatan. Biarkanlah kejahatan jadi milik hawa nafsumu, bukan milik anak-anakku. Engkau adalah milik kebenaran. Pisahkanlah kepemilikan kejahatan dan kebenaran, tanpa harus melawan kejahatan. Manakala engkau mencoba melawan kejahatan, engkau akan di makan oleh kejahatan itu sendiri. Begitulah wahai anak-anakku, dari Sabda Palon Hing Puri Agung Hayuningrat yang ada di Puncak Tahta Kerajaan Arya Loka di Parahyangan.”

Tahta Parahyangan adalah menyimpan tahta Kahyangan, didalammya ada Sabda palon, yang bisa di kumandangkan oleh Batara Narada, Dewa nilai-nilai, Dewa kesucian dan Dewa kearifan.

”Wahai anak-anakku, kemalangan memadu dengan kejahatan. Maka hukum dunia, hukum bumi adalah anak yang lahir dari kejahatan dan kemalangan. Terimalah hukum dunia dari anak perpaduan perkimpoian kemalangan dan kejahatan, dan ramahlah kepada hukum-hukum yang lahir dari keduanya. Karena daging dan darah sangat dekat dengan hukum bumi yang dilahirkan dari bayi-bayi dari perkimpoian kemalangan dengan kejahatan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”

”Karena hukum dunia lahir dari kedua faktor tadi, maka kemanapun manusia pergi dalam mencari jatidirinya, apalagi mencari Maha Pencipta, tetap kesombongan dominan dalam diri manusia. Kalaupun memiliki ketersembunyian Nurani, tetap kesombongan perahu besar dalam mengarungi samudera kehidupan dunia. Terimalah itu semua sebagai takdir, wahai anak-anakku. Itulah Sabda Palon.”

”Wahai anak-anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi yang luhur, bukanlah wedaran dari kesucian yang tinggi, bukanlah wedaran dari ilmu yang sangat tinggi. Melainkan seruan kekuatan hati Nurani yang tersembunyi, karena hati Nurani, walaupun kalah oleh kekuasaan kejahatan, tetap suaranya mampu sampai ke Nirwana. Sampai pada puncak Nirwana, Tahta Parahyangan. Karena hanya Nuranilah yang mampu menggedor pintu Tahta Kahyangan.”

”Anakku, dalam ’diri yang jahat’, dalam ’diri yang malang’, simpanlah desir suara kecil dari Nurani. Walaupun kecil mampu sampai menggedor Tahta Parahyangan. Supaya bumi menjadi subur oleh Parahyangan. Dan janji Hyang Maha Tunggal, suatu saat bumi ini harus menjadi Parahyangan, baru Sang Hyang Wenang, Hing Murbeng Agung, akan tersenyum dan melupakan kemarahannya kepada penduduk bumi ini. Jadikanlah wahai anakku, turunanmu membawa Amanat Tahta Parahyangan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”

”Dan mengapa engkau teruji, diuji oleh gelora syahwat yang tinggi, sehingga engkau menjadi suami isteri? Itu semua adalah suatu kekuatan yang tak mampu lagi dibendung olehmu. Terimalah darah-darah yang menetes dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, dengan demikian engkau telah memberikan kekuasaan kemalangan dari kejahatan lebih kokoh di dunia ini, hingga Hyang Widhi bosan kepada kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Kebosanan Sang Hyang Widhi, itu akan menimbulkan ’kerinduan’ Sang Hyang Widhi datang langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon.”

”Maka kemalangan manusia dengan noda dosa tidak lagi harus diruwat. Karena Sang Hyang Widhi Maha Agung akan turun ke muka bumi, yang didampingi oleh adikku Batara Guru.”

”Batara Guru, adalah menjadi kendaraan yang indah dari Sang Hyang Wenang Hing Maha Agung, untuk mensucikan segala darah-darah yang telah engkau tampung, yang telah engkau simpan, supaya Parahyangan menjadi kenyataan. Parahyangan itu hanya bisa dilakukan, dibentuk, dipersiapkan oleh adikku Batara Guru, dan disempurnakan oleh kerinduan Yang Maha Agung untuk menjadikan parahyangan bagian dari jagad Kahyangan. Walaupun sesaat, tapi senyuman Hing Murbeng Agung menerpa, mengagungkan, mensucikan semua yang suci. Dan Pangruwating Diyu sudah tidak ada lagi. Karena Pangruwating Diyu telah menjadi Kendaraan kejahatan dan kemalangan, untuk kembali kepada pusatnya yang amat rahasia.”

”Yang ada adalah Batara Guru menjadi Satria Lelanang Jagad. Dialah nanti di bumi yang akan memedar ’Naya Genggong’. Naya Genggong akan dipedar oleh keagungan Lelanang ing Jagad dari Sang Hyang Jagad Nata, Prabu Siliwangi Kahyangan, ngahyang (moksa) dan muncul dimuka bumi. Di bumi yang ditentukan dalam tugasnya adalah memedar Naya Genggong.”

”Naya Genggong anakku, adalah Gemah Ripah Loh Jinawi. Hanya Prabu Jagad Nata, Panata Jagad, Panata Negara, Panata Manungsa, yaitu adikku sendiri [Batara Guru] yang mampu demikian. Karena menjadi ’raga’nya Hyang Widhi.”

”Adikku tidak lagi sebagai Dewa, tetapi menjelma menjadi manusia yang berdarah berdaging. Ilmu punah! Karena budi menjelma. Budi dan jatidiri bukan lagi rahasia, tapi menjelma menjadi darah dan daging adikku sendiri, untuk memedar Naya Genggong, Gemah Ripah Loh Jinawi.”

”Wahai anakku, terimalah kemalangan dan kejahatan di dalam wadah keikhlasan supaya dengan cepat dan pasti mengundang Adikku dan Sang Hyang Agung turun ke bumi. Dan darah-darahmu, yang ditampung dari darah umat Manusia. Tambah banyak penampungan tetes darah Perawan, tambah cepat mengundang Sang Hyang Batara Pengasih Sukma, Panata Gama, Panata Buana, Panata Cinta, Panata Asmara, Batara Panata Sakti untuk segera hadir.”

”Wahai Dewa Narada”, berkata Begawan Wisrawa, ”Mengapa demikian? Kenapa Sang Hyang Murbeng Agung turun ke bumi ini? betapa malu. Aku tenoda, noda ini harus didekati oleh Yang Punya Kesucian, Sumber Kesucian. Mungkinkah itu terjadi? betapa malu, aku.”

”Wahai anakku, biarkanlah rasa malumu terkikis habis oleh senyuman dari Batara Hing Murbeng Asih. Dan Batara Hing Murbeng Asih sudah sejak lama hendak turun ke dunia ini, cuma Batara Narada masih malu untuk mengajak Sang Hyang Widhi datang ke bumi ini. Karena genangan darah belum lengkap mengisi mangkok kehidupan dunia ini.”


* Sastra : adalah hidup dalam kehidupan; penghidupan dalam hidup; enghidupi; menghidupkan segala yang hidup. (Hiru dina kahuripan; Ngahuripkeun sagala kahuripan; Hirup kahirupan; Ngahuripan hirup [Sunda].

Jendra : adalah proses kehidupan yang menghidupi, menuju hakekat kehidupan yang sehidup-hidupnya; mengarungi puncak kehidupan tanpa batas arti hidup.

Hayuning : sangat bijaksana; Gelombang dari Karim dan Halim- Nya Allah swt.

Kencana Rukmi adalah : – Suatu alat (cahaya) untuk mengarungi Cahaya Allah swt, (Ihdinas shirathal mustaqim). Ketentraman; kedamaian; tanpa keinginan untuk menang atau mengalahkan. Bila kita mampu menjadikan Nurani sebagai Perahu kehidupan kita, maka apapun gemerlap kehidupan dunia dengan segala pesonanya, takkan mengecoh kita, walaupun kita ada persoalan, namun kita sudah memiliki kepastian hidup.


Lahirnya : Rahwana, Sarpa Kenaka Dan Kumbakarna


Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih ke kerajaan Lokapala menemui isteri dan anaknya. Mereka kembali ke Alengka karena di Alengka-lah (Prabu Sumali), yang dapat menerima kedua orang ini.

Dan di suatu malam yang kelam, mencekam, dimana seolah-olah udara diam tidak bergerak. Gempa muncul dan berbagai gunung meletus. Pada saat demikian perut Dewi Sukesih seperti mau meletus.

”Wahai Kakanda, betapa perut ini sepertinya mau meletus. Oh Kakanda, betapa sakit perut ini”, kata Sang Dewi.

Walaupun kandungan tidak memperlihatkan perut membesar, tetapi terasa ada makhluk yang bergerak-gerak dalam perutnya. Jadi selama mengandung benih dari suaminya, Sang Dewi perutnya tidak berubah tetap langsing seperti sediakala. Namun rupanya pertumbuhan janin sedemikian pesatnya. Maka malam itu Sang Dewi tersiksa oleh sakit perutnya.

”Wahai Dindaku, anak-anak, bayi-bayi yang ada dalam rahim sudah siap, ingin keluar. Dan mengapa engkau penjarakan anak kita yang akan lahir? mengapa engkau penjarakan dalam perutmu? mereka punya hak hidup untuk lahir ke dunia. Biarkanlah mereka masuk ke alam kebebasan dunia ini, dan mereka jenuh dan lelah bergaul dengan alam kesempitan perutmu”, kata Begawan Wisrawa.

”Wahai Kakandaku, aku malu. Aku malu pada pepohonan, pada daun-daun dan gunung-gunung. Bukankah semua air, semua tanah, semua pepohonan akan menertawakan kita. Bukankah bayi ini hasil nafsu kita yang diukir bersama? Wahai Kakandaku, bukankah bayi ini hasil cinta kita? Cinta yang tidak mendapat restu sang Dewa!”, demikian Sang Dewi.

”Terimalah noda yang ada dalam bayi kita”, kata Begawan Wisrawa, ”Dan kejahatan apapun yang akan dilakukan oleh anak kita, bukan kesadaran dari anak-anak kita. Tapi itu adalah perpanjangan kesalahan kita, wahai isteriku. Seandainya anak-anak kita nanti berpesta ria dalam syahwat, itu bukanlah anak-anak kita. Tetapi adalah perpanjangan kerinduan syahwat yang terpendam dari kita bersama. Terimalah semua itu sebagai ’nikmat’ dari Dewa. Kesakitan jiwa ini, jiwaku, jiwamu, obatnya adalah penghinaan dari alam ini, dari mereka, dari semuanya. Tanpa penghinaan, kita akan tetap terkurung oleh ketersiksaan rasa bersalah. Penghinaan wahai Dindaku, membebaskan kesalahan kita, membebaskan keterkurungan dari rasa noda. Kita malu mohon ampun kepada Tuhan, kita malu mohon ampun pada para Dewa. Namun kita pun harus terbebas dari rasa bersalah. Satu-satunya adalah menerima penghinaan. Hinaan adalah membebaskan kita dari penjara noda, penjara rasa hina, penjara rasa bersalah, wahai Dindaku. Bernafaslah engkau, terimalah hinaan itu. Berarti bayi itu akan lahir ke dunia ini dengan selamat.”

Maka diujung kepasrahan yang paling dalam, karena bagaimanapun juga Dewi Sukesih telah sampai ke puncak Sastra Jendra. Sudah dipersiapkan arti makna kesabaran yang paling sempurna, makna kepasrahan yang paling suci. Dan diujung kepasrahan yang total, bayi pun lahir.

Namun bukan sebagai jabang bayi yang sempurna, yang keluar adalah darah-darah yang menggumpal, kemudian disusul oleh kuku-kuku, kuku kecil, kuku besar, kuku hewan, kuku manusia. Kemudian lahir lagi telinga, untaian telinga yang panjang.

Tak lama kemudian, disaksikan kedua orang tuanya. Darah itupun berproses jadi jantung, jadi paru-paru, setiap organ tubuh membentuk diri, hingga sempurna menjadi bayi. Dan yang lainpun, telinga dan kuping, berproses hingga sempurna menjadi tiga bayi.

Yang dari gumpalan darah menjadi Rahwana,

Yang dari Kuku, seorang wanita, menjadi Sarpakenaka,

Yang dari Kuping berproses menjadi Kumbakarna.

Namun setelah menjadi manusia Sang Dewi enggan memeluknya. Karena proses yang begitu cepat, dari gumpalan darah, kuku dan telinga, menjadi janin bayi. Menimbulkan perasaan aneh, kagum, sekaligus takut!

”Wahai isteriku, kini engkau telah menjadi seorang Ibu, aku menjadi Ayah. Peluklah anakmu, jangan engkau biarkan diam. Cepatlah susui mereka sebelum menangis. Seandainya bayi ini, anak ini, menangis, menjerit sebelum engkau susui. Maka keagungan cintamu sebagai wanita takkan bisa mengalahkan dunia ini. Cepat kalahkan dunia dengan air susumu. Karena dunia dengan segala kegagahannya akan kalah, akan takut oleh air susumu. Karena air susumu membuat energi cinta yang sempurna dari seorang Ibu.” Maka dengan cepat, satu persatu ketiganya disusui oleh Sang Dewi.

Begitu anak pertama, Rahwana, disusui maka dengan segera menangislah ia dengan keras, pun demikian dengan yang lainnya. Namun yang unik, Rahwana, begitu menangis, keluarlah sepuluh kepala, Dasamuka!

Sarpa Kenaka, begitu menangis tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba membesar! Dan seketika, semuanya membesar! Sehingga Ibunya sendiri, lebih kecil dari ketiga anaknya. Jadi raksasa.

”Wahai isteriku”, berkata Sang Begawan, ”Cintailah mereka. Mereka adalah ’diyu-diyu’, raksasa-raksasa dari diri kita yang belum sempat diruwat. Mereka adalah jelmaan dari diyu-diyu yang ada dalam jiwa kita, yang belum sempat di sucikan oleh Sang Hyang Widhi. Terimalah mereka, raksasa-raksasa, sebagai anak kita, yang kita cintai, yang kita kasihi.”

”Wahai Kakanda, bagaimakah sifat nereka?”, tanya Dewi Sukesih.

” bahwasanya motivasi perkawinan, gejolak (Sibak kembali Mutasyabih ” perasaan/bathin, dan kadar keimanan, saat berhubungan intim, sangat menentukan karakter anak yang akan terlahir).

”Rahwana adalah dari gumpalan darah yang kita tampung, dengan kebanggaan ilmu Sastra Jendra, dengan kebanggaan kesaktian yang kita rasakan. Dan dengan kebanggaan kita sudah pasti masuk Nirwana. Kitapun terjatuh! Maka semua dosa, darah-darah seluruh umat kita tampung bersama. Maka Rahwana adalah anak kita, dosa kita yang sempurna, syahwat kita yang sempurna. Kitapun telah meminjam semua syahwat manusia, kitapun telah meminjam semua nafsu umat manusia ke dalam mangkok-mangkok kecil kita. Maka Rahwana anak kita, adalah jelmaan kesempurnaan syahwat yang Tuhan ciptakan untuk umat manusia. Rahwana adalah sumber syahwat, sumber kejahatan, sekaligus sumber kemalangan. Rahwana adalah anak dari kejahatan dan kemalangan, yang diikat oleh syahwat yang sangat sempurna. Cintailah dia, wahai Dindaku. Hak anakku, hak anakmu untuk menjadi apapun. Yang penting kita hantar mereka dengan cinta dan kasih sayang. Kita didik mereka dengan tanggung-jawab. Hasil tidaknya itu kita serahkan pada Tuhan Yang Esa. Yang penting cinta kita dalam mendidik, cinta kita menghantar hingga dewasa. Itupun, penghinaan telah berkurang dari dosa-dosa kita. Rasa kebersalahan kita akan berkurang, manakala cinta-kasih kita, kasih-sayang, kepada anak-anak kita tidak pernah berkurang dan utuh. Sekalipun mereka sangat mengecewakan kita. Kini mereka milik Dewa, meskipun kita yang melahirkan.”

”Ada pun anak kita yang wanita, Sarpa Kenaka”, lanjut sang Begawan, ”Adalah kuku-kuku kita, wahai Dindaku. Engkau telah terangsang oleh seksual. Kukumu mengusap-usap tubuhmu sendiri di Telaga Nirmala, kukumu mengait-ngait, mencakar-cakar tubuhmu sendiri. Karena deru birahi betapa kuat, menguasai jiwamu dan fikiranmu, wahai Dewi Sukesih. Dan itupun kuku-ku, saat aku jadi kuda jantan, berlari-lari dalam birahi. Kuku kuda itu ada dalam kandunganmu. Lahir sebagai anak kita, yang kita cintai, Sarpa Kenaka. Sarpa Kenaka adalah lahir dari erangan-erangan, cakaran-cakaran kuku, karena birahi yang begitu hebat, yang menggerogoti jiwa kita. Dan kuku-kuku birahi sudah merasuk umat manusia hingga akhir zaman, wahai Dindaku. Dan puteri kita adalah simbol dari semua kuku yang ada di muka bumi ini. Kelak puteri kita, tidak ada yang dicari, selain lelaki! Tidak ada yang dicari kecuali kebanggaan menguasai lelaki. Cinta, tidak ada bagi anak kita yang wanita ini, yang ada adalah birahi. Dia tidak pernah puas menyerahkan tubuhnya untuk disenggamai oleh setiap lelaki, dan dia tidak pernah puas hanya dengan disetubuhi, bahkan dia harus memperkosa setiap lelaki. Kejantanan setiap lelaki dari anak manusia itu bisa dikalahkan oleh birahi putri kita. Dan tidak itu saja, kuku birahi lelaki tidak boleh memiliki wanita, tetapi lelaki harus dibeli oleh syahwat. Walaupun puteri kita berupa wajah buruk, bau, kotor, raksasa. Tapi manakala timbul birahi pada laki-laki, dia akan secantik bahkan melampaui kecantikan bidadari dari Kahyangan. Betapa akan terpesona semua mereka yang merasa menjadi pria, yang merasa menjadi lelaki. Kecantikan yang sempurna, kecantikan engkau wahai Dewi Sukesih, telah terwariskan pada puteri kita. Namun, saat dunia engkau menjadi kuda betina, dunia aku menjadi kuda jantan yang mengerang dalam senggama yang sempurna. ltu lebih luas, lebih besar jagadnya dalam jiwa puteri kita. Maka lelaki harus di beli, tidak saja fikiran dan jiwanya, namun semuanya akan dibeli oleh puteri kita. Satu lelaki tidak cukup, seribu lelaki lebih tidak cukup. Tidak saja fikiran dan jiwanya yang harus menghamba pada puteri kita, tetapi puteri kita bisa menimbulkan kebanggaan kelamin dari setiap pria, yang anak kita beli.

Jadilah puteri kita, sumber sensual dari semua pria yang ada di dunia.”

”Dan anak kita Kumbakarna dari kuping/telinga”, sang Begawan meneruskan, ”Manakala kita di perbatasan Sela Menangkep, pintu Surgawi. Kita sadar, kita merindukan Yang Menciptakan Nirwana, walau kita tidak merindukan nikmat Nirwana. Namun kitapun sadar, manakala datang cobaan-cobaan. Rayuan engkau kepadaku dan tuntutan seks dari aku kepadamu, kitapun sadar sedang dicoba oleh sang Dewa. Maka bukankah Kakang sudah mencoba mengajak engkau ke bumi ini? Telinga kita saat itu, mendengar panggilan Sang Hyang Murbeng Asih, dari puncak Nirwana. Karena saat itu kita merasa kotor, belum siap masuk ke Nirwana. Jangan sampai mendengar kesucian yang luar biasa dari panggilan Illahi, manakala jiwa kita masih kotor, ternoda. Maka telinga-telinga yang lahir dari rahimmu menjadi putera Kumbakarna. Itu adalah perpaduan kerinduan pada kesucian, kerinduan pada kebenaran namun tanpa daya dalam dunia kekotoran. Kumbakarna adalah simbol bahwa manusia merindukan kesucian, merindukan ’dharma’ yang sempurna dan merindukan ingin sempurna dalam amal ibadah. Tapi manusia pun tidak mau melepaskan jerat birahi, jerat harap, jerat nafsu yang kuat. Maka kerinduan ini, dari suatu Dharma dan kesucian hanya ada dalam pendengaran Nurani manusia, tidak dalam pendengaran kuping manusia. Maka Kumbakarna, wahai istriku, setelah besar nanti. Dia melihat angkara murka di sekelilingnya tapi dia tidak kuasa untuk memperbaiki. Lebih senang tidur! Meninggalkan angkara murka. Tidur dalam ketenangan, karena tidak mau terbawa oleh angkara murka, namun gagal untuk merubah angkara murka. Maka anak kita seperti gunung yang diam, dia tidur dalam kediamannya. Tahu semua yang ada di dunia ini, tapi tak mampu untuk mengubahnya. Dia berhasil untuk tidak terserang angkara syahwat, tapi dia tak melawan, menghabiskan angkara syahwat. Syahwatnya memang tidak disenggamakan dengan sesama manusia, tidak diungkapkan dalam hubungan suami isteri, dalam hubungan lelaki dengan wanita. Tetapi, syahwatnya di bawa ke dalam tidur dan muncul dalam ilusi yang hebat. Dalam tidurnya dia bersenggama, dalam tidurnya dia bermegah-megah. Dalam tidurnya dia merasa ketenangan. Walau tidur, nafsu tetap sempurna dalam jiwanya. ltulah manusia yang akan lahir, seperti anak kita, Kumbakarna”, demikian Begawan Wisrawa.

”Kakandaku, betapa kasihan anak-anak kita ini, betapa kasihan mereka hidupnya. Aku sebagai Ibu yang melahirkan, terlalu berat untuk menerima kenyataan ini.”

Sang Begawan mengangkat kedua tangannya ke langit, ”Wahai Maha Dewa, aku mensyukuri bahwa isteriku muncul kekuatan cintanya, disela cinta muncul tanggung-jawabnya. Wahai Maha Dewa, bukankah cinta tiada arti tanpa tanggung-jawab? Bukankah cinta tiada makna tanpa tanggung-jawab? Dan, bukankah cinta tidak harus ada tanpa tanggung-jawab? Tanggung-jawab adalah buah dari cinta, tapi cinta itu sendiri lahir dari tanggung-jawab. Betapa Engkau telah menganugerahkan perasaan pada isteriku, untuk membuahkan cinta. Wahai Sang Dewa, isteriku telah ’meruwat’ dirinya dengan tanggung-jawab.”

”Wahai isteriku, engkau telah suci kembali, sebagaimana engkau telah sampai ke puncak Sastra Jendra Hayuningrat. Bawalah kesucian dirimu yang sudah pasti masuk ke Nirwana, atas jaminan Dewa. Bawalah cinta, bawalah kesucian dan bawalah tanggung-jawab dalam menyaksikan bagaimana anak- anak kita merusak dunia ini”, kata sang Begawan.

”Bagaimana Kakanda, seandainya para Dewa mengubah, apa yang telah Kakanda lihat tentang anak-anak kita. Bisakah itu?”, Sang Dewi bertanya.

”ltu, ’titis tulis’, Hing Dumadi”, jawab Sang Begawan, ”Kita membuat tulisannya, kita mempersiapkan daun lontarnya. Kita telah menulis dengan cinta, dengan syahwat, dengan ilmu dan dengan kesucian, pada daun lontar. Maka para Dewa meniupkan daun lontar itu jatuh di muka bumi ini. Memang hukum dunia dari kejahatan dan kemalangan, itu dibawa di permukaan daun lontar yang telah kita tulis bersama, telah tertulis pula di Nirwana. Permata-permata indah yang menghiasi Nirwana, yang memberikan cahaya ke negeri Nirwana, yang memberikan cahaya ke alam para Dewa, mulai redup. Karena telah kita nodai dengan air kehidupan dunia di permata cahaya dinding-dinding perhiasan Nirwana. Maka Permata kehidupan berkurang pancaran cahayanya oleh percikan air yang kita siramkan ke Nirwana.”

”Oh! Kakanda. Kapankah itu? Bukankah kita tidak pernah masuk ke Nirwana ? Dijegal oleh para Dewa!?”

”Lupakah wahai Dindaku? Ternyata perbuatan kita melakukan hubungan suami istri dan pesta syahwat, itu adalah kehendak Dewa? Dan manakala selesai Batara guru mempengaruhi kita untuk bersenggama, sang Dewa keluar dari jagad jiwa kita, kembali ke Nirwana membawa air kehidupan dunia dari tubuh kita, dari darah kita, dari daging kita. Batara Guru tak kuasa untuk menggenggam air kehidupan dunia, maka memerciklah ke permata cahaya di dinding Nirwana. Dan Batara Guru hanya melaksanakan tugas, titah, dari kebenaran Nirwana. Dan air itu kita yang membawa ke Puncak Sastra Jendra. Air dunia yang ternoda, kita bawa ke puncak Hayuningrat yang belum saatnya tiba. Wahai Dindaku. Anak-anak kita sudah masuk ke alam Takdir. Sudah masuk ke jagad Paria yang terendah, yang terhina, yang terhitam dari kehidupan. Anak-anak kita sudah terlanjur kita penjarakan di Alam Samsara. Walaupun mereka jahat, merekapun harus menerima penderitaan. Samsara!”

”Anak kita Rahwana, berkuasa jadi raja, apapun yang diinginkannya mampu didatangkan. Tapi apa yang didapat tidak membahagiakan anak kita. Justru itu alam Samsara, alam penderitaan yang lebih menderita dari kita sendiri, wahai isteriku.”

”Sarpa Kenaka, kecantikannya mampu membeli seribu laki-laki, menikmati seks, pesta pora dalam birahi. Seribu lelaki yang molek mudah didapatkan. Erang kuda kejantanan lelaki mudah dikecap, tapi puteri kita tidak pernah, tidak bisa menikmati, karena puteri kita ada di alam jagad Samsara, lebih mederita dari kita.”

”Anak kita Kumbakarna, dalam tidurnya dia menikmati kehidupan illusi, dalam tidurnya dia menikmati seks, pesta seks. Dalam tidumya dia ada dalam Istana dengan berbagai kemewahan dan keindahan. Tapi Kumbakarna anak kita, tidak menikmati di alam nyata. Tetapi alam illusi. Dalam tidurnya ada di jagad Samsara, di jagad penderitaan yang sangat, melampaui penderitaan kita, wahai isteriku.”

”Karena itu mereka sudah terlanjur masuk ke jagad Takdir, Kehendak Hyang Widhi. Karena kita memercikkan air noda dunia ke dinding Permata Cahaya di Nirwana.”

”Bagaimanakah wahai Kakanda, dalam menghadapi cinta anak-anak kita, seandainya pada waktunya, saya ibunya harus menderita melihat penderitaan mereka, anak-anak kita. Masihkah tetap diam?”, tanya Dewi Sukesih pada suaminya.

”Wahai isteriku, apapun usaha perjuangan dengan segala upaya untuk memperbaiki anak-anak kita, itu tidak mungkin menjadikan anak-anak kita lebih baik. Kita harus menerima penderitaan mereka, karena penderitaan itu kita pula yang mengukir.”

”Bisakah kita menyelamatkan mereka, wahai Kakanda?”

Rupanya hati seorang Ibu (Dewi Sukesih) masih selalu berharap yang terbaik bagi anak-anaknya.

”Oh Dindaku, bukankah sewaktu kita sama-sama memedar Sastra Jendra Hayuningrat, kitapun tak mampu menyelamatkan diri kita dari serangan syahwat? Bagaimana kita akan mampu menyelamatkan anak-anak kita? Kita sendiri tidak mampu menyelamakan diri kita sendiri! Terimalah azab mereka sebagai ’cermin’ bahwa kita telah membuat tulisan dan lukisan di cermin kehidupan ini. Dan semua anak manusia ikut serta, ma’mum, kepada anak-anak kita, hingga keputusan Hyang Widhi, keputusan Allah bersama Batara Guru, bersama Batara Narada, turun ke bumi ini membebaskan Kumbakarna-Kumbakarna yang lahir. Beribu-ribu Kumbakarna akan lahir, berjuta Sarpa Kenaka akan lahir dan berjuta Rahwana akan lahir. Hanya Hyang Maha Asih yang mampu melepaskan dari jerat noda mereka.”

”Satu-satunya wahai Dindaku, semua sisa kehidupan ini, kita peruntukkan bagi Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pencipta Nirwana, Maha Pencipta kita. Kita serahkan semua teruntuk Hing Maha Murbeng Agung.”

”Dunia jagad jiwa kita, kita bagi dua. Jagad mencintai anak-anak kita dan jagad yang kita persembahkan kepada Hing Murbeng Agung.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar