Kamis, 06 Juni 2013

SUWUNG SAJRONING ASEPI

Besok tanggal 07 Juni 2013 adalah Hari JUMAT PAHING. Setiap kali memasuki hari tersebut, pikiran dan hati saya selalu tergayut kepada Seorang Tokoh yang sangat saya kagumi yang meninggal di hari Jumat Pahing, 08 Februari 1952. Beliau adalah Raden Mas Panji Sosrokartono.

Untuk itu ijinkanlah saya mendedikasikan tulisan dan coretan yang berinspirasikan dari berbagai sumber untuk mengenang, mengingat dan memuliakan beliau yang tlah mengabdikan hidupnya, jiwa dan raganya, untuk sesama dengan tulus dan ikhlas. SUWUNG ing pamrih.

Kondisi SUWUNG susah diungkapkan dengan kalimat-kalimat sederhana. Kalau disampaikan dalam kalimat-kalimat, sebagaimana yang disampaikan kali ini pasti juga akan mengelami reduksi makna. Padahal, SUWUNG tidak bisa dibahasakan secara sederhana dalam beberapa larik kalimat. Tapi, apakah SUWUNG itu dengan begitu tidak bisa dikomunikasikan

SUWUNG adalah sebuah pengalaman mistis, spiritual yang berada pada puncak intuisi yang efektif dan transendental. Ini hanya bisa dialami apabila seseorang itu menggeser semesta kesadarannya  dari yang inderawi menuju ke atasnya. Dalam SUWUNG itulah, dunia inderawi ditinggalkan dan digantikan oleh semesta yang lain, sehingga sampai pada satu titik keseimbangan semua dimensi di Jagad Raya.

Kata "SUWUNG"  yang berasal dari bahasa Jawa ini mengandung makna paradoks. Bila kita membayangkan sebuah garis linier imajinatif, SUWUNG menduduki tiga titik yang berbeda-beda pada garis linier imaginatif tersebut. 

Pada titik yang paling dekat dengan imajinasi pikir kita, SUWUNG berarti gila, kurang waras, “gendheng” atau  yang lebih populer disebut “kenthir”. Orang yang menderita gangguan kejiwaan sering mengalami hilang ingatan. Dia tidak tahu siapa dirinya, apa keinginannya, atau untuk apa dia hidup. Pendek kata, kesadaran akan diri dan lingkungannya tidak terdapat dalam dirinya alias SUWUNG atau gendheng itu tadi.

Pada titik yang lebih seimbang, yang terletak di tengah garis linier imajinatif ini, SUWUNG dapat dimaknai sebagai kosong, nihil, tanpa bentuk dan abstrak. Seseorang yang berada dalam kondisi SUWUNG, dia mengalami kenihilan dalam alam pikir dan kehendaknya. Kekosongan ini menjadikan dirinya netral, tidak berpihak, tidak berkemauan untuk menonjolkan diri, mengikuti arus, dan membiarkan segala yang berada di sekitarnya berjalan sebagaimana alam menghendakinya. Dirinya sendiri tidak ikut serta dalam hiruk pikuk di sekitarnya. Dia berdiam diri, berkontemplasi dan menyibukkan dengan diri sendiri. Kalau ada gejolak di luar, dia memahami namun tidak bereaksi.

Pada ujung garis linier imajinatif yang jauh dari kita, SUWUNG memiliki makna yang berkebalikan dengan titik yang terdekat dengan kita. Kata ini mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri. Seseorang yang berada dalam kondisi SUWUNG jenis ini, dia mencapai tahapan akhir dalam pengendalian diri yang  luar biasa dan mampu mengontrol diri secara sempurna sehingga dia mengetahui secara pasti kapan dia harus berbuat dan kapan dia harus menahan diri. Kesempurnaan pengendalian diri ini menjadikan dirinya memiliki kemerdekaan yang hakiki atas hidup. 

Manusia SUWUNG jenis ini mengetahui secara pasti peran dirinya dalam jagad semesta. Dia mampu menempatkan dirinya secara tepat. Dia menjalin komunikasi yang intens dengan diri sendiri, dengan manusia, tumbuhan, dan hewan, dengan semesta, dan juga dengan yang Maha Kuasa. Kekosongan ini membuat dia mampu mengendalikan nafsu, keinginan, dan hasrat ragawi manusia. Manusia SUWUNG jenis ini seperti seorang petapa yang proaktif. Pertapaannya tidak dilakukan di gunung tinggi, belantara sunyi, atau di gua yang dalam, tetapi di jagad raya yang hiruk-pikuk ini. Dirinya berada dalam kekosongan yang berisi, bahkan meluap dengan buah-buah kebajikan dan pelayanan yang nyata kepada sesama.

Sayangnya, manusia SUWUNG jenis terakhir ini sangat langka. Jauh lebih langka ketimbang Harimau Sumatra yang mendekati titik kepunahan. Bila kita melihat kondisi sekarang, mata kita lebih sering disuguhi oleh berbagai ke-SUWUNG-an jenis yang pertama. 

Lihatlah betapa pongahnya para pemimpin dan elit politik kita mempertontonkan kesuwungan jenis yang pertama ini di televisi. Mereka mempertontonkan berbagai perilaku nyleneh yang sering tidak dapat diterima akal sehat. Mengemplang duit pajak atau duit rakyat (korupsi) dianggap biasa. Menyuap atau disuap demi pangkat, jabatan, dan kedudukan dianggap sudah sewajarnya. Layaknya para pengidap gangguan kejiwaan, mereka tertawa penuh kebanggaan (baca: kegilaan) bila berhasil mengelabui penegak hukum. 

Atau, apakah virus SUWUNG jenis pertama ini sudah pula menyebar sedemikian sempurnanya ke aparat hukum kita sehingga perilaku mereka dianggap normal, wajar, dan sudah semestinya? Sebagian besar dari kita menjadi marah, gregetan, dan sekaligus geli atas perbuatan mereka. Namun karena sering tidak berdaya, kita hanya dapat menertawakan mereka. Barangkali tertawa menjadi terapi ampuh bagi kita agar tidak terjerumus dalam SUWUNG jenis pertama ini. Lagi pula, menertawakan orang gila kan biasa.

Masalahnya, apabila mereka yang memimpin menderita sakit jiwa, bagaimana dengan mereka yang dipimpin? Tentu, lama-kelamaan rakyat ikut gila juga. Sepertinya, jaman edan telah mewujud nyata dalam kehidupan bermasyarakat kita: tidak ikut edan, bakalan tidak kebagian. Tetapi jangan lupa bahwa hanya yang “eling lan waspada” lah yang akan mendapat kemuliaan. Orang yang ingat dan waspada inilah yang sementara ini mengalami ke-SUWUNG-an yang berada di tengah garis linier imajinatif di atas. 

Saat ini mereka melihat, mengamati, dan menunggu. Nanti, di saat yang tepat, mereka akan mendapat kesadaran baru dan menjelma menjadi manusia-manusia SUWUNG jenis terakhir di atas. Mereka inilah yang akan membawa gelombang pembaharuan dalam masyarakat kita dan menggilas mereka yang gila. SUWUNG jugakah Anda?


SUWUNG menurut Raden Mas Panji Sosrokartono

Raden Mas Panji Sosrokartono lahir di Mayong pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April 1877 M. Beliau adalah putera R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Semenjak kecil beliau sudah mempunyai keistimewaan, beliau cerdas dan mempunyai kemampuan membaca masa depan.

Kakak dari ibu kita Kartini ini, setelah tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara, melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda. Mula-mula masuk di sekolah Teknik Tinggi di Leiden, tetapi merasa tidak cocok, sehingga pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya.

Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan. Selama perang dunia ke I, beliau bekerja sebagai wartawan perang pada Koran New York Herald dan New York Herald Tribune. Kemudian, setelah perang usai, beliau menjadi penerjemah di Wina, tapi beliau pindah lagi, bekerja sebagai ahli bahasa pada kedutaan Perancis di Den Haag, dan akhirnya beliau hijrah ke Jenewa. Sebagai sarjana yang menguasai 26 bahasa, beliau bekerja sebagai penerjemah untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa.

Sampai suatu ketika terdengar berita tentang sakitnya seorang anak berumur ± 12 tahun. Anak itu adalah anak dari kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meki sudah diobati oleh beberapa dokter. Dengan dorongan hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang sakit parah itu. Sesampainya di sana, beliau langsung meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan hitungan detik, dan hari itu juga ia pun sembuh.

 Kejadian itu membuat orang-orang yang tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu. Setelah itu, ada seorang ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan bahwa sebenarnya Drs. R.M.P. Sosrokartono mempunyai daya pesoonalijke magneetisme yang besar sekali yang tak disadari olehnya.

Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Akan tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka di sana beliau hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di Perguruan Tinggi tersebut secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch dokter.

Beliau kecewa, karena di sana beliau hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat terbatas, tidak sesuai dengan harapan beliau. Di sela-sela hati yang digendam kecewa, datanglah ilham untuk kembali saja ke tanah airnya. Di tanah airnyalah beliau harus mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk mengabdikan diri kepada rakyat Indonesia. Sesampainya di indonesia, beliau bertempat tinggal di Bandung, beliau menjadi sang penolong sesama manusia yang menderita sakit jasmani maupun rohani.

Di Bandung, di Dar-Oes-Salam-lah beliau mulai mengabdikan dirinya untuk kepentingan umat. Beliau terkenal sebagai seorang paranormal yang cendekiawan di mana saja, bahkan beliau pernah mendapat undangan Sultan Sumatera, Langkat. Di daerah sanalah beliau mulai menampakkan kepribadiannya secara pasti, karena di sebuah kerajaan beliau masih menunjukkan tradisi Jawanya, kerendah-hatiannya, kesederhanaannya, tidak mau menikmati kemewahan, bahkan dalam beberapa hari di tiap harinya beliau hanya makan dua buah cabe atau sebuah pisang.

Beliau tidak menikah, tidak punya murid dan wakil.
Pada hari JUMAT PAHING, tanggal 8 Februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung, yang terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono kembali ke Sang Pencipta dengan tenang, tentram.


Salah satu ajaran yang di sampaikan oleh beliau adalah :

Trimah mawi pasrah,
SUWUNG pamrih tebih ajrih
Langgeng tan ana susah tan ana seneng
Antheng mantheng sugeng jeneng.

Artinya,
menerima dengan tawakal
tiada pamrih jauh dari takut,
abadi tiada duka  tiada suka,
tenang memusat  bahagia bertakhta.

“Trimah mawi pasrah, SUWUNG pamrih tebih ajrih”

menerima apa saja dengan penuh kepasrahan. Tidak sekedar menerima, tapi perlu ada kepasrahan. Untuk menghilangkan rasa takut, maka seseorang dianjurkan untuk mengosongkan hatinya dari pamrih.

” Langgeng tan ana susah tan ana seneng”

Dapat diterjemahkan “Keabadian yang tak diselimuti perasaan susah maupun senang”. Derita, kesedihan, dan kesusahan pun tak lagi ada. Begitu pun dengan perasaan senang, dalam hal ini pun dianggap tiada.

 “Antheng mantheng sugeng jeneng”

lebih mengarah pada suasana batin yang selalu tenang, konsen, selamat dari kotoran-kotoran nafsu, dan kuat dari segala bentuk ujian dan cobaan. Ketenangan, kearifan, khusyu’ beribadah, terselamatkan dari godaan nafsu, dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak adalah lebih baik dari setiap sesuatu di dunia yang baik.


SUWUNG pamrih tebih ajrih,
Menawi kulo ajrih,
Rak kirang manteb kulo dateng Gusti kulo.
Payung kulo Gusti kulo, tameng kulo inggih Gusti kulo.

Bagi seseorang yang tak punya pamrih, ia tak punya rasa takut. Apa pun kedudukannya, betapa pun jabatannya. Ia berjalan di atas kebenaran dan keadilan. Ia tak digentarkan oleh keadaan, dan kesulitan-kesulitan yang kelah dihadapinya, karena sikapnya yang konsekuen dan konsisten. Ia berani dan bersedia menanggung akibat perbuatannya atau keputusannya. Bahkan ia menyadari segala perbuatan dan keputusannya juga dipertanggung jawabkannya di hadapan Tuhannya.

Ia lebih mengutamakan harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Nilai-nilai kejiwaan yang luhur, tak akan luntur karena harta benda dan kenikmatan duniawi. Ia berani menghadapi dan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan-kesulitan hidup seorang diri. Ia berani memasuki kancah perjuangan hidup tanpa bantuan apa pun dan dari siapa pun (ngalurug tanpo bolo).

Ia mencari kebenaran dengan pikiran yang terbuka ( seek the truth with open mind). Jiwanya tidak kerdil, bukan pula pengkhianat atau penjilat, ia benci kepada sifat pengecut. Dalam usahanya mencari nafkah, sangat terpuji.

Ia menyadari bahwa dalam hidup ini penuh kesulitan ( ing donya mung kebak kangelan, sing sopo oran gelem kangelan, ojo ana ing donya). Kesulitan harus diatasi. Kalau kesulitan sudah dipecahkan maka isinya adalah kebahagiaan.

Ia tahu makna pengorbanan, namun dilakukan dengan ikhlas. Setiap saat ia akan kena fitnah. Ia merasakan hal itu. Betapa pun bersihnya manusia seperti salju dan betapa pun putihnya seperti kapas, namun manusia tidak akan lepas dari fitnahan. Tapi kalau ini terjadi, dan dilakukan pengusutan, maka yang muncul adalah kebenaran. Kebenaran itu kadang-kadang terdesak, tapi tidak pernah musnah. Kebenaran selalu ada pada orang yang “ SUWUNG pamrih, tebih ajrih”.

Ia sudah menyatu dengan Tuhannya, karena itu ia digdaya tanpo aji. Payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula. Karena kesediaannya untuk berkorban, menolong sesama, manusia yang susah, yang sakit, bukan dengan tekad pamrih, melainkan dengan tekad “asih”.Ajini pun inggih boten sanes namung aji tekad , ilmuni pun ilmu pasrah, rapalipun adiling Gusti.  Sinau melu susah, melu sakit, tegesipun: sinau ngudi raos lan batos, sinau ngudi kamanungsan. Ganjarane, ayu lan arume sesami”.

Ia akan diterima dengan baik, di mana pun ia berada. Ia bersahabat dengan siapa pun. Dari orang melarat yang hina sampai pada orang-orang besar dan berpangkat, serta orang-orang kaya. Ia tidak suka membeda-bedakan. Ia melihat bukan kepada apa yang nampak secara lahiriah, bukan materi yang dinilai, bukan pula kedudukan yang dihargai. Ia melihat semuanya dengan wajar. Bukankah semua itu manusia juga, dengan segala kelemahan danketerbatasannya.

Ia bersifat lapang dada, lebih suka mengampuni dari pada menghukum, lebih bersemangat membimbing daripada menghancurkan.

Ia seorang yang bijaksana, beliau pernah berkata : “ nanging kulo mboten kenging nilar patokan waton kulo piyambak, utawi supe dateng maksud lan ancasipun agesang, inggih punika: Ngawula dateng kawulaning Gusti, lan memayu ayuning urip”

Ia punya sahabat di mana-mana, siapa pun ingin bersahabat dengan beliau, sebab ketika berdekatan dengan beliau, mereka merasakan adanya getaran hidup sampai ke relung hatinya yang paling dalam. Getaran hidup yang memancarkan rasa tentrem, langgeng tan ana susah tan ana bungah, anteng manteng sugeng jeneng.

SUWUNG pamrih, tebih ajrih. Orang yang punya pamrih sama dengan orang yang lemah. 
Orang yang punya pamrih, akan mendapatkan sesuatu, jadilah ia berhutang budi kepada orang yang memberi sesuatu kepadanya. Maka sulit dan sangat sulit bagi orang yang sudah berhutang budi dapat bertindak adil.

Pamrih mendapatkan kekayaan, naik pangkat, mendapatkan wanita dan lain-lain. Bahkan kasih kita kepada Tuhan harus tak berpamrih. Kalau kita berpamrih berarti kasih kita tidak ikhlas. Tidak berpamrih (suwung pamrih) memang sangat sulit.


Konsep “trimah mawi Pasrah”, oleh Drs. R. M. P. Sosrokartono, diperjelas dengan apa yang pernah beliau katakan di bawah ini :

Ikhlas marang apa sing wes kelakon.
Trimah apa kang dilakoni.
Pasrah marang apa bakal ana.

Artinya, 
Ikhlas terhadap apa yang telah terjadi. 
Menerima apa yang dijalani. 
Pasrah terhadap apa yang akan ada.

Jadi, selain bergandengan dengan ilmu sabar, ilmu pasrah dan ilmu trimah juga bergandengan dengan ilmu ikhlas, tidak mencari pamrih, tidak karena ingin dipuji, tidak pamer kepada orang lain. Apa yang telah terjadi, biarlah terjadi, karena kepasrahan akan membawa keridhaan, dan keridhaan akan membawa keikhlasan, dan itulah sabar, sebuah sifat yang sangat disukai oleh Tuhan.


“Trimah mawi pasrah” 

juga dapat diartikan bahwa manusia hanya dapat berusaha, sedangkan Tuhanlah yang menentukan segalanya. Oleh karena itu, janganlah terlalu menyesali nasib, karena dibalik derita ada bahagia, dibalik kesusahan ada kemudahan. Yang pasrah akan mendapat kemudahan, yang ridha akan mendapatkan ganti, yang sabar akan mendapatkan kemuliaan dan yang ikhlas akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan hati.


"SUWUNG pamrih tebih ajrih"

SUWUNG pamrih, SUWUNG ajrih, 
namung madosi barang ingkang sae, 
sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti

Artinya :

Tiada pamrih, tiada takut, 
hanya mencari sesuatu yang baik, 
semua saya serahkan kepada Tuhan.

Yen kula ajrih, 
kenging dipun wastani ngandut pamrih 
utawi ancas ingkang boten sae.

Artinya :

Jika saya takut, 
boleh dikatakan (bahwa saya) menyimpan pamrih 
atau niat yang tidak baik.

Luh ingkang medal sangking manah punika, 
dede luh ipun tangis pamrih, 
nanging luh peresanipun manah SUWUNG pamrih.

Artinya,

Air mata yang keluar dari hati ini, 
bukanlah air matanya tangis pamrih, 
tetapi air mata perasan hati yang kosong pamrih.

Ketika anda menangis, menangislah karena syukur dan ikhlas, bukan karena menginginkan imbalan yang tak kunjung tiba. Apalah artinya menantikan imbalan, jika semua yang ada tak mengizinkan. Apalah artinya tangisan hanya gara-gara ingin dipuji, dibalas atau diberi, jika kemuliaan jauh dari kita. Yang terpenting adalah kedamaian, ketentraman, aman, kebahagiaan dan kemuliaan.

Pamrih itu hanya membuat seseorang menjadi penakut, picik, menderita, menjenuhkan, bahkan dapat membuat orang menjadi hina.



SUWUNG menurut R. Ng. Ronggowarsito


Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa ke-emasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah meninggalkan ‘warisan tak terharga’ berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.

R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.

Sebagai putra bangsawan Burham mempunyai seorang emban bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.

Pertama mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar. Pangkat ini membuatnya menyandang nama Mas Panjangswara. Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik). Ki Tanudjaja mempengaruhi kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana. Ranggawarsita wafat pada tanggal 24 Desember1873 bulan Desember hari Rabu pon.


Sejatine Ingsun anata malige ana sajroning Betal Muharram,
iku omah enggoning lalaranganing Ingsun,
jumeneng ana dhadhaning Adam,
kang ana sajroning dhadha iku ati,
kang ana antaraning ati iku jantung,
sajroning jantung iku budi,
sajroning budi iku jinem,
iya iku angen-angen,
sajroning angen-angen iku rahsa,
sajroning rahsa iku Ingsun,
ora ana Pangéran amung Ingsun Dat kang anglimputi kahanan jati.

Artinya :

Sesungguhnya Aku merajai istana di dalam Betal Muharram,
yaitu rumah larangan-Ku,
yang terletak di dada Adam,
di dalam dada ada hati,
di antara hati ada jantung,
di dalam jantung ada budi,
di dalam budi ada jinem,
yaitu angan-angan,
di dalam angan-angan ada rahsa,
di dalam rahsa ada Aku,
tiada Tuhan kecuali Aku,
Dzat yang meliputi keadaan hakiki.

Mengenai kaitan antara filsafat rasa dan keindahan sastra, ada peristiwa tekstual-kultural yang sangat menarik. Yaitu, adanya teks tembang yang mengalami apresiasi kultural yang luar biasa. Teks itu adalah bagian dari pupuh Pangkur (pupuh pertama) dalam Serat Wedhatama, tepatnya pada atau bait ke-13. Teks itu layak disebut sebagai "teks sakral," yang lengkapnya adalah sebagai berikut:

Tan samar pamoring Suksma
Sinukmaya winahya ing asepi
Sinimpen telenging kalbu
Pambukane warana
Tarlen saking layap-liyeping ngaluyut
Pindha pesating supena
Sumusuping rasa jati

Artinya : 

Tiada diragukan menyatunya Sang Suksma
Menembus yang semu, diwahyukan dalam keheningan
Tersimpan rapat di kedalaman kalbu
Tempat terbukanya tabir
Tiada beda dengan suasana antara lelap dan jaga
Bagaikan kilasan mimpi
Begitulah selinap-sadar dari rasa sejati

Bagaimanakah bentuk "apresiasi kultural yang luarbiasa" terhadap teks sakral tersebut? Pertama, teks tersebut "dinaikkan derajatnya" dari teks tembang macapat menjadi teks janturan (Sukatno 1993: 90). Berikut adalah sebagian dari teks janturan :

Pramila winastan Kahywangan Alang-alang Kumitir
karana dumunung munggwing telenging cipta,
manthenging pangèsthi,
wekasaning SUWUNG,
tan ana rasa pribadi,
anané hamung ayem kang sarta tentrem.

Artinya :

Maka disebut Kahyangan Alang-alang Kumitir
karena terletak di pusat keheningan cipta,
di inti pemusatan hasrat,
di batas-akhir kekosongan,
(di sana) tiada rasa pribadi,
yang hanya hening-damai serta tenteram.


Ana padhang dudu padhanging rahina,
ana peteng dudu petenging wengi,
kang ana amung alam tumlawung,
ngalangut tanpa tepi,
yèku tapaking Hywang Suksma,
sinuk maya winahya ing asepi.

Artinya :

Ada cahaya bukan cahaya siang,
ada gelap bukan gelapnya malam,
yang ada hanya alam kebas-lepas,
larut-hanyut tiada batas,
itulah jejak Hyang Suksma,
menembus yang semu.


Sinimpen telenging kalbu,
pambukaning warana,
tarlen amung layap liyeping aluyup,
pindha pesating supena,
sumusuping rahsa jati,
jatining manggih bagya mulya,
tan ana sangsaya sinangsaya.

Artinya :

diwahyukan dalam keheningan,
tersimpan rapat di kedalaman kalbu,
tempat terbukanya tabir,
tiada beda dengan suasana antara lelap dan jaga,
bagaikan kilasan mimpi,
begitulah selinap-sadar dari rasa sejati,
kesejatian menemu mulia-bahagia,
tiada derita tiada saling aniaya. 


Baik menurut Raden Mas Panji Sosrokartono maupun R. Ng. Ronggowarsito,

SUWUNG mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri. 

Seseorang yang berada dalam kondisi SUWUNG jenis ini, dia mencapai tahapan akhir dalam pengendalian diri yang  luar biasa dan mampu mengontrol diri secara sempurna sehingga dia mengetahui secara pasti kapan dia harus berbuat dan kapan dia harus menahan diri. 

Kesempurnaan pengendalian diri ini menjadikan dirinya memiliki kemerdekaan yang hakiki atas hidup. 



menep ing rahsa sateleng kalbu

amatek cipta ambasuh sukma

sumunaring raga ambudidaya

nora iguhing palena pikir

imaningsun anuju dhat luhur

nembah asaling muasal

oncat hawa lereming asepi



SUWUNG : Simbol Perputaran Hidup

Kalender Jawa menunjukkan perputaran hidup antara manusia dimana hidup itu diciptakan oleh Gusti, pencipta Jagat Raya, Tuhan Yang Maha Kuasa.

TAHUN

Terdapat delapan nama dari tahun Jawa, misalnya tahun internasional 1999 sama dengan tahun Jawa, Ehe 1932 yang dimulai sejak bulan Sura, bulan pertama.

Nama-nama tahun tersebut adalah sebagai berikut :
1. Purwana – Alip, artinya ada-ada (mulai berniat)
2. Karyana – Ehe, artinya tumandang (melakukan)
3. Anama – Jemawal, artinya gawe (pekerjaan)
4. Lalana – Je, artinya lelakon (proses, nasib)
5. Ngawana – Dal, artinya urip (hidup)
6. Pawaka – Be, artinya bola-bali (selalu kembali)
7. Wasana – Wawu, artinya marang (kearah)
8. Swasana – Jimakir, artinya SUWUNG (kosong)

Kedelapan tahun itu membentuk kalimat ”ada-ada tumandang gawe lelakon urip bola-bali marang SUWUNG”  yang artinya : mulai melaksanakan aktifitas untuk proses kehidupan dan selalu kembali kepada kosong (SUWUNG). Tahun dalam bahasa Jawa itu wiji (benih), kedelapan tahun itu menerangkan proses dari perkembangan wiji (benih) yang selalu kembali kepada kosong yaitu lahir-mati, yang selalu berputar.

BULAN

Satu tahun terdiri dari 12 bulan yang menunjukkan sangkan paraning dumadi (asalnya dari mana dan akan pergi kemana), disini ada 12 proses yaitu :

1. Warana (Sura) artinya rijal.
2. Wadana (Sapar) artinya wiwit.
3. Wijangga (Mulud) artinya kanda.
4. Wiyana (Bakda Mulud) artinya ambuka.
5. Widada (Jumadi Awal) artinya wiwara.
6. Widarpa (Jumadi Akhir) artinya rahsa.
7. Wilapa (Rejeb) artiya purwa.
8. Wahana (Ruwah) artinya dumadi.
9. Wanana (Pasa) artinya madya.
10. Wurana (Sawal) artinya wujud.
11. Wujana (Sela) artinya wusana.
12. Wujala (Besar) artinya kosong (SUWUNG)

Setiap eksistensi dari hidup manusia baru dimulai dengan Rijal (sinar hidup yang diciptakan oleh kekuatan gaib dari Gusti Tuhan). Perputaran hidup manusia adalah dari rijal kembali ke rijal melalui SUWUNG (kosong). 

Dari bulan pertama sampai dengan bulan ke sembilan manusia baru tersebut berada di kandungan ibu dalam proses untuk mengambil bayi hidup yang sempurna, siap untuk lahir; dari bulan kesepuluh dia menjadi seorang manusia yang hidup didunia ini. Bulan kesebelas melambangkan akhir dari pada eksistensinya didunia ini yaitu, wusana artinya sesudahnya.

Yang terakhir adalah SUWUNG artinya kosong, hidup pergi kembali dari mana hidup itu datang. Dengan kehendak Gusti hidup itu kembali lagi menjadi rijal, inilah perputaran hidup karena hidup itu abadi.

Ada kalanya orang tua bijak memberikan nasihat :
sebaiknya setiap orang itu tahu inti dari sangkan paraning dumadi atau purwa, madya, wusana. Sehingga orang akan selalu bertingkah laku yang baik dan benar selama diberi kesempatan untuk hidup didunia ini.

Seorang yang telah mencapai SUWUNG itu tidak akan merasa rugi meski kehilangan barang yang dicintainya. Karena yang ada dalam jiwanya hanya Tuhan.


SUWUNG menurut "Serat Wedhatama"



Dalam Serat Wedhatama diterangkan bahwa alam semesta yang dihuni oleh makhluk hidup dibedakan menjadi dua alam yakni alam yang selalu berubah (fana’) dan alam yang tetap (abadi). Konsep mengenai hal tersebut antara lain termuat dalam pupuh pangkur bait ke 14 yang berbunyi :



Sejatine Kang mangkana
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi
Bali alaming  nga-SUWUNG,
Tan karem karameyan
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira
Mulane wong anom sami. 

Artinya: 
Sebenarnya yang demikian itu
Sudah mendapat anugerah 
TuhanKembali ke alam kosong,
Tidak mabuk keduniawian
Yang bersifat kuasa menguasai,
Kembali ke asal mula
Oleh karena itu wahai anak muda 

Dari kutipan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping alam tempat hidup manusia sekarang ini, dalam Serat Wedhatama berpandangan bahwa ada suatu alam lainnya yang disebut sebagai ALAM SUWUNG. Ini merupakan tempat asal dan sekaligus tempat kembalinya manusia yang dapat memperoleh karunia Tuhan. 

Alam sekarang ini disebut pula alam kinaot (pupuh gambuh bait ke 13) yakni alam yang tinggi tingkatannya atau alam yang sangat istimewa indahnya. Oleh karena kesempurnaan hidup merupakan tujuan utama bagi setiap manusia agar tercapai kebahagiaan hidup sejati baik pada kehidupan ini (fana’) maupun  kehidupan setelah mati. 

Kebahagiaan hidup sejati didunia ini bukan diukur dari keadaan terpenuhinya kebutuhan materil secara melimpah  tetapi sebaliknya berupa pemenuhan kebutuhan yang wajar, adil dan seimbang bagi keperluan jasmani serta rohaninya Disamping itu  ALAM SUWUNG pun disebut alam lama maot yang terdapat pada pupuh gambuh bait ke 17 yaitu: 

Sayekti luwih perlu,
Ingaranan pepuntoning laku,
Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin,
Sucine lan awas emut,
Mring alaming lama maot. 

Artinya:

Sebenarnya lebih penting
Disebut penghabisannya tindakan,
Tindakan yang bersangkutan dengan batin,
Pembersihnya dengan awas dan ingat
Kepada alam yang Maha Besar (dapat memuat)
Alam kelanggengan. 

Alam lama amot (maot) secara harfiah bermakna alam yang dapat memuat dalam waktu yang lama atau dengan perkataan lain langgeng atau abadi. Dapat pula diartikan sebagai alam baka atau alam akhir.


Dalam alam akhir inilah kita akan mengalami kehidupan akhirat sebagai lawan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang, dan jauh, kehidupan ini akan dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali sesudah mati, kehidupan ini tidak bisa dijelaskan secara keilmuwan, karena diluar jangkauan keilmuwan sehingga untuk memahami realitas kehidupan akhirat harus melalui perenungan yang transenden, yang melintasi batas-batas dimensi fisik, ruang dan waktu yang terbatas. 

Melalui pengembaraan iman yang cerdas, yang secara ghaib menembus dinding dan pembatas yang berada dalam ruang dan waktu yang bersifat fisik, hakikat kehidupan ini tidak berada pada kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sementara seperti permainan yang segera berakhir.


Oleh karena itu hakikat kehidupan adalah kehidupan akhirat kehidupan jangka panjang yang hanya bisa dicapai dengan menekan "keakuan" dititik rendah, sebuah perjalanan yang amat panjang, yang hanya dapat dihayati dengan menjauhkan diri dari kesombongan.


Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa bagi Serat Wedhatama ada kehidupan yang abadi yakni ALAM SUWUNG yang merupakan alam asal dan tempat kembalinya manusia yang mendapat karunia Tuhan. Disamping itu alam suwung ini pun merupakan tempat bersemayamnya Tuhan itu sendiri. Hal ini diungkapkan  dalam pupuh pocung bait ke 12 :

“…Hyang Wisesa sana pasenedan suci…" yang bermakna bahwa yang maha kuasa itu bersemayam dialam yang suci.

Dari kehidupan dunia yang fana’ ini manusia akan menuju ke alam akhirat yaitu alam keabadian. 

Dalam Islam kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang dan jauh yaitu sebuah perjalanan yang mengharuskan melalui tahapan-tahapan, baik untuk istirahat, membersihkan diri atau mengisi dan membawa bekal untuk perjalanan  berikutnya yaitu harus mengalami, hari kiamat, kebangkitan, pengadilan, hukuman dan pembalasan, baik sorga ataupun neraka adalah bagian dari kehidupan akhirat itu sendiri.

Pada hakikatnya kehidupan akhirat adalah perjalanan panjang menuju Tuhan, bukan perjalanan menuju sorga atau menghindari neraka. Karena  sesungguhnya kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepadanya, perjalanan panjang menuju Allah dalam kehidupan akhirat dilakukan manusia pada tahapan nafsu dan nafs pada hakikatnya adalah transendental dari nafs yang terbatas menuju nafs yang tak terbatas (Tuhan).   


Salam Katresnan,

Bausasran, 06 Juni 2013
JSP/Jumat Pahing

1 komentar:

  1. Dalam ajaran Hindu terdapat pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” yang sebenarnya ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “SUWUNG.

    Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan.

    Jika kita boleh memaknai bahwa hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan Irodat-Nya tidak saling bertabrakan.

    Sang “kosong” atau “SUWUNG” itu meliputi segalanya.

    “SUWUNG iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya.

    Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”.

    BalasHapus