Selasa, 17 September 2013

SURA DIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI


Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti memiliki arti adalah setiap kebencian, kemarahan, keras hati akan luluh oleh kelembutan, bijaksana, dan sabar. 

"Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" adalah bagian dari salah satu bait "Sekar Kinanthi" dalam "Serat Witaradya" buah karya R Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) pujangga besar Kasunanan Surakarta, yang mengisahkan R Citrasoma, putra Sang Prabu Aji Pamasa di negara Witaradya.


Selengkapnya "Sekar Kinanthi" tersebut adalah sebagai berikut:
Jagra angkara winangun
Sudira marjayeng westhi
Puwara kasuh kawasa
Sastraning jro Wedha muni
Sura dira jayaningrat
Lebur dening pangastuti

Terjamahan kata per kata merujuk Bausastra Jawa, Poerwadarminta, 1939 sebagai berikut:

Jagra: Bangun; Angkara: Angkara;
Winangun: Diwujudkan (Wangun: Wujud);
Sudira: Amat berani;
Marjayeng: Jaya ing, menang dalam ... ;
Westhi: Marabahaya;
Puwara: Akhirnya;
Kasuh: Tidak tahan;
Kawasa: Kuasa;
Sastra: Jro: Jero, Di dalam;
Tulisan, surat-surat, buku-buku;
Wedha: Ilmu pengetahuan, Kitab-kitab ilmu;
Muni: berbicara;
Sura: Berani;
Dira: Jaya: Ningrat: Bangsawan, tetapi Ning: Di;
Rat: Jagad Lebur: Hancur; Dening: Oleh;
Pangastuti: pamuji, pangalem, pangabekti, panembah.

Terjemahan bebasnya kurang lebih sebagai berikut:
Bait ke 1 sd 3 menunjukkan orang yang karena keberanian dan kesaktiannya ia tidak pernah terkalahkan, akhirnya tidak kuat memegang kekuasaan dan tumbuh sifat angkara.
Sedangkan bait ke 4 sd 6 menjelaskan bahwa menurut kitab-kitab ilmu pengetahuan, sifat angkara tersebut dapat dikalahkan dengan kelembutan.

Di bawah adalah kisah pendukung "Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" yang dapat dibaca dalam "Serat Witaradya" tentang kesetiaan seorang isteri yang dapat mencegah niat buruk lelaki lain dengan "pangastuti"

Alkisah sang putra mahkota jatuh cinta kepada istri Tumenggung Suralathi yang bernama Nyai Pamekas, seorang wanita yang sepantaran dengan dirinya. Wanita yang tidak hanya cantik lahiriyah tetapi juga suci hatinya. Begitu gandrungnya sang pangeran, sampai pada suatu saat Ki Tumenggung sedang dinas luar, beliau mendatangi Nyai Pamekas yang kebetulan sedang sendirian, untuk menyatakan maksud hatinya yang mabuk kepayang

Dengan tutur kata lembut dan "ulat sumeh" Nyai Pamekas berupaya menyadarkan R Citrasoma dari niat tidak baiknya, karena jelas menyeleweng dari sifat seorang ksatria dan melanggar norma-norma kesusilaan, tetapi sang Pangeran tetap ngotot. Nyai Pamekas mencoba ulur waktu, dengan mengingatkan bahwa ada banyak orang disitu yang berpeluang melihat perbuatan R Citrasoma, kecuali di"sirep" (dibuat tidur dengan ilmu sirep)

Bagi seorang yang sakti mandraguna seperti R Citrasoma, tentu saja me"nyirep" orang bukan hal besar. Ketika semua orang tertidur, kembali Nyai Pamekas mengingatkan bahwa masih ada dua orang yang belum tidur yaitu Nyai Pamekas dan R Citrasoma sendiri. Lebih dari pada itu, masih ada satu lagi yang tidak pernah tidur dan melihat perbuatan R Citrasoma, yaitu Allah yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

R Citrasoma terhenyak dan sadar. Minta maaf kemudian kembali ke kediamannya. Nyai Pamekas berhasil mengatasi nafsu angkara tidak dengan kekerasan. Mungkin juga kalau keras dilawan keras justru akan terjadi hal yang tidak baik. Kelembutan dan kesabaran ternyata berhasil meluluhkan kekerasan.

Satu contoh lagi pada saat menjelang akhir perang Bharatayuda Yudistira harus melawan Prabu Salya yang memiliki aji-aji Candra Birawa. Berupa raksasa yang kalau dibunuh akan hidup lagi bahkan jumlahnya menjadi berlipat ganda. Bima dan Harjuna dibuat kewalahan dengan raksasa Candra Birawa ini. Setiap dipukul dengan gada oleh Bima, atau dipanah oleh Harjuna, jumlahnya malah makin berlipatganda.

Akhirnya Candra Birawa berhadapan dengan Yudistira, Raja yang dikenal berdarah putih. Tidak pernah marah apalagi berperang. Raksasa-raksasa Candra Birawa tidak dilawan. Bahkan didiamkan saja. Tetapi raksasa dapat dikalahkan dan kembali kepada tuannya.

Itulah "Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti". Sebuah ajaran yang patut kita renungkan pada abad ke 21 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar