Selasa, 17 September 2013

KYAI AGENG PRAWIRA POERBA (NDARA POERBA)

KYAI AGENG PRAWIRA POERBA (1869-1933)


Kyai Ageng Prawira Poerba atau lebih dikenal sebagai “Ndara Poerba” adalah putra dari Gusti Pangeran Haryo Suryometaram I dengan permaisuri yang bernama Raden Ayu Suryometaram. Kyai Ageng Prawira Poerba lahir pada tahun Dje 1797 atau 1869 Masehi dan meninggal pada Minggu Kliwon, 15 Dulkangidah Tahun Dal 1863 (5 Mei 1933). Ia merupakan putra ke-4 dari 9 bersaudara. GPH Suryometaram I adalah putra dari Sultan Hamengku Buwana VI. Dengan demikian, Kyai Ageng Prawira Poerba adalah cucu dari Sultan Hamengku Buwana VI.

Tidak banyak kisah tentang beliau sebagai bangsawan dan keturunan ningrat yang tinggal di lingkungan Kraton Jogjakarta. Ndara Poerba justru menjadi sangat dikenal karena cara hidupnya yang sangat kontroversial sebagai gelandangan (ngedan) yang melebur dan sangat dekat  dengan kehidupan kawula pada zamannya.

Menurut cerita, sewaktu masih menjalani hidup berkeluarga sebagai keturunan ningrat,  Kyai Ageng Prawira Poerba tak memiliki ilmu apa pun. Suatu ketika mengalami musibah yang beruntun dengan meninggalnya isteri tercinta kemudian disusul putra tersayangnya, hidup Kyai Ageng Prawira Poerba seolah menjadi hampa. Apalagi kedua orangtuanya ditawan Kompeni kemudian diasingkan di pulau Flores. Menghadapi kenyataan yang getir Kyai Ageng Prawira Poerba  lalu meninggalkan keraton untuk mengembara dan bertapa dan kebenciannya pada kompenipun makin bertambah

Kemana beliau mengembara dan bertapa, tidak ada keterangan yang jelas. Namun berdasarkan catatan yang saya peroleh di bawah ini, kemungkinan pada waktu pengembaraannya beliau pernah berjumpa dan berguru kepada Eyang Santri. Disebutkan sebagai berikut : 

“Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokartono juga kerap mampir ke rumah Eyang Santri, bahkan pembentukan afdeeling Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndara Poerba dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini,  mereka datang berguru ke Eyang Santri”

Setelah merasa mendapat cukup ilmu Kyai Ageng  Prawira Poerba lalu pulang dan mengabdikan dirinya ke keraton. Banyak orang mengetahui Ndara Poerba saat itu sudah berbeda dengan sebelumnya. Selain digdaya juga jadi waskita. Semisal menebak pohon beringin depan Masjid Agung bakal roboh, tak lama kemudian nggak ada hujan dan angin pohon itu benar-benar tumbang.

Para pedagang di sepanjang Alun-alun Utara juga kerap mendapat berkah dari ilmu yang dimiliki Ndara Poerba. Jika suatu saat dagangannya diambil Ndara Poerba tanpa dibayar, maka esoknya dagangan itu laris. Namun jika pedagang minta bayaran, alamat esoknya bangkrut.


DI USIR KELUAR DARI KRATON

Keluarga Kraton mulai merasa risih dengan berbagai perbuatan Ndara Poerba yang dinilai berlebihan dalam memperlihatkan kelebihan ilmunya. Maka beliau lalu diusir dari Keraton Jogyakarta oleh Sinuhun Sri Sultan Hamengku Buwono VII. “Diusirnya Kiai Ageng dari Keraton, bermula ketika memetik tanaman jeruk keprok kesayangan Sri Sultan. Meski kemudian dikembalikan lagi utuh seperti semula memakai ilmunya. Kelancangannya itu tidak terampuni. Beliau tetap disuruh pergi dari Keraton.

Versi lain yang mirip menceritakan ketika beliau masih menjalani hidup sebagai abdi dalem Kraton, waktu sedang membersihkan taman, beliau melihat buah mangga. Kemudian, buah mangga itu dipetiknya, entah akan untuk apa. Yang pasti, perbuatan tersebut, diketahui Kanjeng Sinuwun Kaping VII. Melihat perbuatan Ndara Poerba itu, Sinuwun mengatakan, “jangan diambil, ayo dikembalikan ke tempatnya”. Atas perintah ini, Ndara Poerba melempar mangga tersebut ke pohonnya. Dan karena kesaktiannya, mangga itu dapat kembali ke rantingnya, persis sama seperti sebelum dipetik.

Atas kejadian ini, Sinuwun pun menjadi duka dan berujar, “kowe kok kaya wong edan, kaya glandangan kang ora ngerti aturan”. Sabda Pandita Ratu, maka Ndara Poerba pun lantas menjadi gelandangan dan keluar dari Kraton.

Versi yang lain lagi menceritakan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII  beliau pernah melakukan tindakan yang dianggap tidak sepantasnya oleh pihak keraton. Perlu diketahui bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII ini beliau menjadi salah satu abdi dari Keraton Yogyakarta.

Menurut cerita tutur tersebut, konon beliau pernah diperintah menata kursi untuk sebuah pertemuan antara bangsawan Keraton Yogyakarta dengan tamu-tamu dari Negeri Belanda. Akan tetapi karena Kyai Ageng Prawira Poerba merasa tidak suka dengan bangsa Belanda  (lebih-lebih setelah kedua orangtuanya ditawan Belanda dan di bawa ke Flores-red) , perintah untuk menata kursi itu tidak dilaksanakannya dengan sewajarnya. Beliau bahkan hanya menjentik-jentikkan jari saja. Konon dengan menjentikkan jari-jari itu kursi-kursi yang seharusnya ditatanya bisa menata diri dengan sendirinya (bergerak sendiri).

Melihat kejadian ini Kanjeng Sinuwun merasa tersinggung. Oleh karena itu Sinuwun mengeluarkan kata-kata yang bersifat kutukan bahwa apa yang dilakukan oleh Kyai Ageng Prawira Poerba tersebut adalah tindakan yang mirip dengan tindakan orang gila. Konon seketika itu juga Kyai Ageng Prawira Poerba menjadi sakit ingatan. Sekalipun demikian, banyak orang meyakini bahwa apa yang dialami oleh Kyai Ageng Prawira Poerba bukanlah gila betulan, tetapi ia memang sengaja melakukan ngedan ‘berbuat seolah-olah gila’ (netepi Sabda Pandita Ratu-red).

Mengenai ketepatan waktu kapan beliau  keluar (diusir) dari Kraton itu apakah terjadi pada masa pemerintahan Sinuwun Sultan HB VII (1877-1920) atau pada masa pemerintahan Sinuwun Sultan HB VIII (1921-1939) belum ada informasi yang akurat. Tetapi masa hidup Kyai Ageng Prawira Poerba  jelas berada dalam kurun waktu pemerintahan kedua Sultan tersebut (1869-1933). Sampai akhir masa pemerintahan Sinuwun Sultan HB VII umur beliau sudah mencapai 51 tahun. Memasuki era pemerintahan Sinuwun Sultan HB VIII mulai umur 51 – 64 tahun. Secara logis, saya cenderung mengatakan bahwa peristiwa pengusiran itu terjadi pada masa pemerintahan Sinuwun Sultan HB VII, saat masih berusia di bawah 50 tahun-an. Bahkan mungkin saat usia beliau masih di bawah 40 th-an. (Kalau salah tolong diluruskan-red)


MITOS DAN LEGENDA NDARA POERBA SETELAH KELUAR DARI KRATON

Merasa bebas dari lingkungan Keraton, Ndara Poerba justru makin bebas melampiaskan ketidaksenangannya kepada Belanda. Hampir setiap hari, beliau mengganggu serdadu Kompeni Belanda yang sedang berbaris di Alun-alun Utara. Bukan hanya itu, beliau pun kerap menempeleng polisi yang sedang bertugas. Karena kelakuannya itu Ndara Poerba kemudian  ditangkap dan dipenjarakan di Wirogunan. Tapi malam harinya bisa lolos dari dalam penjara. Menariknya, yang kemudian berada di dalam selnya justru adalah Kepala Polisi Belanda.

Selama menggelandang ini, Ndara Poerba banyak membuat “pangeram-eram”, atau sebut saja semacam “keanehan”. 

Contohnya, saat beliau klitah-klitih di pasar (entah di pasar mana) melihat seorang penjual dawet. Lalu beliau mendekat, kemudian tangannya mengobok-obok dawet tersebut. Anehnya, tidak lama kemudian, dawet itu terjual habis. Bahkan tidak hanya itu, hari-hari selanjutnya, larisnya berlipat-lipat dibanding sebelumnya. Sehingga, bakul dawet itu menjadi sugih, menjadi kaya raya, dan menjadi terkenal.

Cerita lainnya, pernah Ndara Poerbo dikuntit terus oleh seorang perempuan. 
Kemudian kata beliau, “kowe ki ngapa kok ngetutake aku terus”. 
Jawab perempuan itu, “lare kula niku sakit Ndoro, nyuwun tamba, nyuwun obat supados mantun”. Kata Ndara Poerba sambil berlalu, “lho aku ki dudu dukun je, kana golek dukun wae”.
Jawaban demikian, tidak menyurutkan niat perempuan itu untuk terus mengikuti Ndara Poerba. Sampai suatu ketika Ndara Poerba bertanya, “ngendi to omahmu kuwi, ayo menyang omahmu”. Singkatnya, Ndoro Poerba sampai di rumah perempuan tersebut.

Dan memang benar, anak perempuan itu terlihat sakit keras, sudah sentik-sentik seperti akan mati. Selanjutnya perempuan itu diperintah untuk masak air, dan meletakkan anaknya diatas sebuah meja. “Ndoro toyane sampun panas, sampun mateng”, ujar perempuan itu pada Ndara Poerba saat air yang dimasaknya sudah matang. “Kene. Gawaa mrene banyune”, jawab Ndara Poerba

Perempuan itu pun, segera membawa air panas tersebut pada Ndara Poerba. Saat air panas itu sudah dalam tangan Ndara Poerba, tanpa wigah wigih, air itu disiramkan pada bocah yang terbujur sakit, yang sudah sentik-sentik seperti akan mati.  Anehnya, bocah bersangkutan seperti terkejut, lalu bangun, turun dari meja, berlari dan sembuh.

Kisah ini menurut empunya cerita terjadi pada tahun 1918 (dengan demikian semakin menguatkan dugaan saya bahwa peristiwa pengusiran terjadi dalam masa pemerintahan Sinuwun Sultan HB VII-red).

Tersebutlah seseorang bernama Yudo, seorang pemuda umur 20 tahun dari Wates, pergi ke Yogyakarta, berjalan kaki. Setiba di Pasar Bering, tiba-tiba kedua pundaknya dipegang dari belakang. Saat membalik badan, si pemegang pundak dengan sekonyong-konyong meludahi Yudo, persis di mukanya. Tentulah Yudo terkejut, marah dan tercengang. Ia pun bersegera mengangkat tangan, hendak menempeleng orang itu. Tetapi bakul-bakul kanan kiri memegang kedua tangannya sambil berseru,
“Jangan, den!”.
“Lha, kok?”.
“Itu Ndara Poerba!”.
“Aku tak kenal…”.
“Beliau Wali, den”.

Sementara itu, yang dikatakan orang  sebagai Ndara Poerba, mengacungkan jari telunjuknya ke muka Yudo sambul berseru, “Uh uh uh”. Kemudian ketawa “Ha ha ha ha” lalu pergi.
Para bakul berkata, “Wah, sampeyan begjo, den…”
Peristiwa pun berlalu begitu saja. Dan Yudo, sesudah berbelanja berbagai keperluannya, pulang kembali ke Wates, juga dengan berjalan kaki.

Esoknya, di kampung Yudo, ada dua orang bersaudara yang sedang cekcok perkara tanah warisan. Akhirnya, mereka sepakat untuk menghibahkan tanahnya kepada Yudo, daripada kedua saudara itu tidak rukun. Itulah keberuntungannya yang pertama.

Hari berikutnya, Yudo pergi ke Yogya lagi untuk melihat Sekaten di malam hari. Ia ikut main rulet, memberi uang di suatu nomor, bola kecil menggelinding berhenti di nomor itu. Uang dibiarkan tetap di nomor itu, bola kecil berhenti di situ lagi. Uang disentil pindah nomor, bola kecil berhenti di nomor yang baru. Uang diangkat dan dijatuhkan di sembarang nomor, bola kecil berhenti di situ. Demikianlah seterusnya sampai akhirnya sang bandar bangkrut. Hari-hari berikutnya, keberuntungan datang susul menyusul kepada Yudo. Apapun yang Yudo kerjakan membawa keberuntungan. Usaha apapun sukses. Berdagang apapun memberi untung.

Tetapi setahun berlalu, nasib keberuntungan Yudo berhenti, keadaannya menjadi seperti dahulu lagi. Kadang sukses kadang gagal, kadang untung kadang rugi. Maka mulailah Yudo bershalat lima waktu sambil bertanya kepada Tuhan, mengapa keberuntungannya berhenti.

Konon, Yudo mendapat wangsit “Begjomu hanya setahun”. Kini ia mencoba mengerti bahasa Ndara Poerba. Ia diludahi di mukanya dahulu berarti “Kamu begjo”.  Jari telunjuk diacungkan di depan hidungnya mempunyai arti “Satu tahun”. Mungkin, kalau yang diacungkan dua jari, begjonya menjadi “dua tahun”).

Demikianlah Ndara Poerba sangat dihormati oleh masyarakat Yogya, diharap-harap namun juga ditakuti. Orang jualan di tepi jalan sangat menantikan jika Ndara Poerba lewat sambil menyaut barang atau makanan dagangannya sebab dipastikan bahwa dagangannya akan menjadi  laris. 

Jika ada orang duduk di tepi jalan kemudian Ndara Poerba menghampiri dan orang tersebut dikencingi, orang itu tandanya akan mendapat rejeki yang besar. Jika beliau berjalan mengitari orang, orang akan celaka. Jika masuk rumah orang dan sumbat saluran bak kamar mandi dicabut sehingga air habis mengalir keluar, orang  itu akan habis kekayaannya.

Suatu ketika Ndara Poerba menyuruh masyarakat Yogya untuk mandi di Sungai Code yang airnya begitu kotor dan bau, orang Yogya patuh. Ternyata mereka yang telah mandi di sungai menjadi selamat dari wabah kolera yang kemudian melanda Yogya. Kiranya beliau tahu bahwa sebelum adanya wabah, di Sungai Code itu sudah terdapat kuman-kuman kolera yang akan memberi imunisasi kepada mereka yang mandi.

Menurut beberapa tokoh spiritual di Jogja, “Ndara Poerba atau Kyai Ageng Prawira Poerba” adalah  sosok leluhur yang saat ini mengemban amanah untuk menggembalakan "wahyu" Nuswantoro Abang Putih.


MAKAM KARANG KABOLOTAN


Pada tanggal 5 Mei 1933, Kyai Ageng Prawira Poerba meninggal karena usianya yang uzur. Saat pemakaman pun, masih saja ada kejadian yang ganjil. “Ketika akan dimasukkan ke liang lahat, tiba-tiba lubang kuburan dipenuhi air hingga meluber membasahi pakaian peziarah. Setelah dilakukan ‘dialog’ singkat oleh jurukunci makam dengan , Kyai Ageng Prawira Poerba, barulah air itu surut,” kata Daroessalam.

Makam Kyai Ageng Prawira Poerba terletak di Dusun Tahunan, Kelurahan Semaki, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta tepatnya di sisi timur kompleks makam pahlawan Kusumanegara. Makam ini juga terkenal dengan nama Makam Karang Kabolotan. Makam ini berada di tepi sisi selatan Jl. Kusumanegara atau lebih tepatnya berada di sisi selatan pertigaan Jl. Kusumanegara dan Jl. Cendana Yogyakarta.

Dalam kisah pewayangan, nama Karang Kabolotan ini sudah tidak asing karena merupakan tempat tinggal dari pamomong satria Pandawa yang bernama Ki Lurah Semar Badranaya yang sejatinya adalah  dewa dengan nama Sang Hyang Ismaya. Semuanya tersamarkan di dalam tugasnya sebagai pamomong atau panakawan. Ia dipanggil dengan nama Semar, dari kata samar atau tidak jelas.

Lalu apa hubungan antara Kyai Ageng dengan Kyai Semar?

Dalam cerita tutur dikatakan bahwa kehidupan Kyai Ageng Prawira Poerba setelah keluar dari keraton demikian eksentrik (ngedan, nggelandang). Ia hampir tidak pernah mengenakan baju. Kemana-mana hanya mengenakan kain. Menurut sebagian besar masyarakat Jawa cara hidup yang demikian itu mirip dengan cara hidup yang dilakukan oleh Semar dalam tokoh pewayangan, yakni cara hidup sederhana namun penuh kebijakan.

Demikianlah, Kyai Ageng Prawira Poerba dulunya dikenal sebagai sosok yang dekat sekali kepada rakyat dan karena kelebihan yang dimiliki tidak sedikit masyarakat yang menganggap beliau sudah menjadi Waliyullah. Mirip dengan kehidupan tokoh Semar di dunia pewayangan.

Kini makam Kiai Ageng Prawira Poerba banyak didatangi untuk ber-ziarah terutama setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Apalagi pada malam Senin Legi, peziarah datang dari berbagai kota sekitar Jogyakarta.


MAKNA ZIARAH

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan masyarakat Jawa ada saat di mana manusia akan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan makam atau ziarah ke makam. 

Makam dan segala aktivitas yang berkaitan dengan ziarah akan mengingatkan manusia bahwa setelah kehidupan akan ada kematian, sehingga manusia akan sadar untuk biasa melakukan perbuatan baik sebagai bekal dalam menghadapi alam arwah. 

Doa-doa dan segala permohonan tetap ditujukan dan dilantunkan  kepada Gusti Sang Jagadnata agar (bila terkabul) kitapun juga memperoleh rahmat dan berkah dari Tuhan seperti halnya para leluhur yang dimakamkan di tempat itu.  Apalagi diyakini bahwa meskipun sudah tidak berada di alam kehidupan di dunia ini, beliau yang sudah memasuki alam kelanggengan masih dapat memberikan restunya kepada kita yang masih hidup di dunia ini.

Orang yang sudah meninggal tidak lenyap begitu saja, melainkan masih tetap bisa menyambung rasa dan hati dengan anak-cucunya. Mereka yang telah meninggal  dapat menyandang predikat  “le-luhur” dikarenakan oleh berbagai keluhuran perbuatan beliau semasa masih hidup di dunia. Jangan pernah remehkan leluhur (meskipun sudah tanpa raga) yang selalu kersa njangkung dan njampangi hidup dan kehidupan anak turunnya serta orang-orang yang mengasihinya.


(Disarikan dari berbagai sumber)

Catatan :
Apabila ada koreksi ataupun input tambahan, dengan senang hati akan diterima.

RAHAYU dan SALAM KATRESNAN

JSP BAUSOSRO 18.09.13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar