Selasa, 11 Juni 2013

RUWAHAN & SADRANAN : PENGHORMATAN & BAKTI KEPADA LELUHUR

TRADISI YANG SUDAH MEMUDAR

Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang.Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang.

Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Selain itu, tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu.

Tradisi Ruwahan berisi kegiatan melaksanakan ritual yang dilakukan pada saat datangnya bulan Ruwah atau bulan Arwah. Bulan Arwah kali ini jatuh pada hari SENIN KLIWONi tanggal 10 Juni 2013. Umumnya tradisi Ruwahan dilakukan pada tanggal 1 bulan Arwah atau Ruwah. Tahun ini dilakukan pada (kalender Jawa) surya kaping 01 wulan Arwah 1946 warsa Jimakir bertepatan tanggal 10 Juni 2013 bertepatan dengan atau tanggal 01 Syaban 1434 H. 

Sejenak melayangkan ingatan di sekitar tahun 1980-an. Saya masih ingat betul, apa yang selalu kami nanti-nanti setiap kali memasuki ‘Sasi Ruwah’  adalah asyiknya berebutan “ketan, kolak. apem” dengan saudara serumah.  

Pada era 1980 an itu kebiasaan atau katakanlah tradisi membuat ‘ketan, kolak, apem’ masih kental dilakukan oleh hampir setiap keluarga di kampung kami. Maka, tidaklah aneh kalau juga hampir setiap hari, keluarga kami pasti kebagian hantaran ‘ketan, kolak, apem’ tersebut, bahkan dalam sehari kadang bisa 2 atau 3 paket yang kami terima dari tetangga.

Keluarga kami pun juga melakukan hal yang sama. Entah apapun alasan yang melatarbelakanginya. Bapak dan Ibu (meski beragama nasrani) juga membuat ‘ketan, kolak, apem’ untuk dibagikan kepada semua para tetangga sekitar dan tidak boleh ada satupun tetangga yang terlewatkan tidak dibagi.  Biasanya, kami anak-anak sendiri yang menghantarkannya kepada para tetangga. Kalu dihitung, bisa 60-70 paket yang kami buat untuk dibagikan. Dan semua itu kami lakukan dengan senang hati, tanpa beban.

Dalam ‘sasi ruwah’ itu setidaknya ada dua ‘makam’ yang selalu kami kunjungi. Pertama, di makam Ndondong, Semaken, Kalibawang, Kulon Progo. Di mana di tempat ini dimakamkan Eyang Kakung & Putri ‘Prawiro Dikarto’  serta Eyang Buyut dan seterusnya dari garis Bapak saya. Makam yang tertua di tempat ini adalah makam “Eyang Suto Perbonggo” yang kebetulan adalah “Eyang Canggah” saya. Kedua, di makam Sepujud dan Joho, di desa Soropadan, Temanggung, Jateng. Di mana di makam Sepujud di sumarekan ‘Mbah Haji Usman’ dan di Joho disumarekan ‘Mbah Aminah’. Beliau berdua adalah Mbah Kakung & Putri dari garis ibu saya. Mbah Usman adalah Kaji/Haji pertama di desa kelahiran ibu saya. Diceritakan bahwa pada saat naik haji ke Mekkah, masih menggunakan sarana kuda dan kapal laut sebagai sarana transportasinya. Di makam Sepujud ini, makam yang tertua adalah makam “Kyai Soropodo” yang masih Eyang Wareng saya.

Di kedua makam ini diselenggarakan acara “Nyadran” selain reresik makam dan tabur bunga juga diadakan acara ‘doa bersama’ oleh seluruh keluarga yang leluhurnya di makamkan di tempat itu. Masing-masing keluarga membawa ‘beberapa besek’ kenduri untuk dijadikan satu dan akan akan saling dibagikan kembali sewaktu acara nyadran selesai. Pada saat semua warga bisa berkumpul, biasanya juga diadakan ‘serkileran sumbangan sukarela’. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk : perbaikan jalan menuju makam, membuat talud di area makam, pembuatan pagar makam, perbaikan masjid, dll. Tergantung dari rencana apa yang akan dilaksanakan pada saat itu.

Pada saat ‘nyadran’ itulah, saat-saat di mana kami bisa berjumpa, tidak hanya dengan keluarga besar kami saja tetapi juga dengan seluruh warga dan masyarakat setempat yang sudah tersebar kemana-mana. Meskipun tidak selengkap kalau pada hari raya ‘Bada’ atau Idul Fitri. ‘Bada’ sendiri berasal dari kata ‘Bakda’ yang berarti ‘sesudah’. Maksudnya adalah ‘sesudah puasa’. Itulah gambaran suasana nyadran yang dilakukan di pasarean. Kami bersama-sama membersihkan lingkungan makam dan pusara leluhur kami masing-masing. Kami berdoa bersama-sama yang dipimpin oleh ‘Kaum’ setempat lalu kami menabur bunga sebagai tanda hormat dan bakti kami kepada para leluhur dan kami pulang membawa “berkat-an” (kenduri) ke rumah kami masing-masing.


Seiring berjalannya waktu, tradisi atau kebiasaan membuat ‘ketan,kolak, apem’ di kampung saya sudah semakin memudar. Hanya tinggal satu atau dua keluarga saja yang masih melanjutkan warisan kebiasaan ini. Tetapi acara nyadran di desa, baik di Kulon Progo maupun Temanggung,  masih tetap kami lakukan hingga sekarang ini.



MAKNA RUWAHAN & SADRANAN

Istilah Sadranan dan atau Ruwahan mungkin bukan lagi merupakan istilah asing bagi masyarakat Jawa atau bahkan di luar Jawa. Inti dari upacara atau kegiatan Sadranan dan atau Ruwahan meliputi membersihkan makam, memperbaikinya, mengirimkan doa untuk para arwah leluhur, tabur bunga, dan juga dengan kenduri. Ruwahan sebenarnya mengacu pada nama dalam sistem penanggalan Jawa, yakni bulan Ruwah. Dari nama ini muncullah istilah Ruwahan.

Dalam pengertian umum ruwah sering dimaknai sebagai “ngluru arwah” atau bersilaturahmi kepada arwah. Menurut  pandangan masyarakat Jawa kata ruwah dapat juga diartikan sebagai “weruh-arwah” atau secara bebas dapat diterjemahkan mengingat atau mengenang arwah para leluhur.

Tidak jelas benar kapan tradisi ruwahan ini mulai muncul. Akan tetapi hal demikian dapat diduga merupakan perkembangan dari sebuah tradisi yang telah lama ada di hampir semua wilayah atau daerah di Nusantara, yakni tradisi penghormatan kepada arwah leluhur. Hal demikian sebenarnya juga menjadi petunjuk bahwa sudah sejak lama masyarakat Jawa mempercayai adanya kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia. Artinya, arwah orang meninggal adalah abadi. Arwah di alam abadi inilah yang oleh masyarakat Jawa dirasa perlu “dikaruhake” (disapa, diajak dialog).

Ruwahan dalam kebudayaan Jawa juga sering dipersamakan dengan Nyadran atau Sadranan. Sadran sendiri diduga berasal dari istilah "sradda", yakni sebuah upacara ziarah kubur yang biasa dilakukan oleh umat Hindu di masa lalu. Demikian seperti makna istilah sradda dalam bahasa Sansekerta. Istilah sradda memiliki kemiripan makna dalam bahasa Kawi yang maknanya adalah peringatan hari kematian seseorang. Sradda sendiri dilaksanakan dalam dua tahapan ritual, yakni pertama berupa pelantunan doa dan pujia-pujian yang diiringi iringan musik dan tahap yang kedua (penutup berupa samadi atau mengheningkan cipta). 

Pada intinya Ruwahan dan Sadranan memiliki kesamaan makna. Sekaligus kesamaan dalam praktiknya. Semuanya mengacu pada pengertian mendoakan arwah leluhur, memohon ampunan kepada Tuhan dan sesama, dan menuju kesucian diri. a.sartono (Tembi Rumah Budaya)

Menurut sejarah, 'nyadran' adalah sebuah kata berasal dari bahasa Sanskerta “sraddha” yang juga bisa diartikan sebagai keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal, sejatinya masih ada dan memengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka yang masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan yang meninggal. Selanjutnya, sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan diberi penerangan berupa lampu (Budi Puspo Priyadi, 1989).

'Sradha' merupakan tradisi yang diawali oleh Ratu Tribuana Tunggadewi, raja ketiga Majapahit. Pada jaman itu Kanjeng Ratu ingin melakukan doa kepada sang ibunda Ratu Gayatri, dan roh nenek moyangnya yang telah diperabukan di Candi Jabo. Untuk keperluan itu dipersiapkanlah aneka rupa sajian untuk didermakan kepada para dewa. Sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi, tradisi ini dilanjutkan juga oleh Prabu Hayam Wuruk.

Di masa penyebaran agama islam oleh Wali Songo, tradisi tersebut kemudian diadopsi menjadi upacara nyadran karena bertujuan untuk mendoakan orang tua di alam baka.
Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban anak dan cucu untuk senantiasa mendoakan arwah leluhurnya yang telah meninggal.

Ketika ziarahpun, sebenarnya banyak hal yang pantas kita garis bawahi :

Pertama, Semua  yang hidup pasti mati.  Semua yang kita cintai akan kita tinggalkan. Istri yang cantik, suami yang gagah, anak-anak yang hebat, rumah dan mobil mewah, juga jabatan yang tinggi. Kitapun juga akan seperti mereka, berumahkan nisan-nisan. Ketika manusia itu meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara. Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak sholeh/sholekhah. 

Kedua, bunga adalah simbol kasih sayang. Dan kasih sayang tidak hanya diperuntukkan bagi yang hidup. 

Ketiga, belajar beramal (dengan memberi kepada orang - orang yang sudah membersihkan makam leluhur.
Di beberapa tempat di Jawa,  masih terdapat masyarakat  yang melaksanakan tradisi ruwahan setiap tahunnya, mereka memiliki kepercayaan dengan mengadakan  tradisi ruwahan mereka akan mendapatkan berbagai kemudahan dalam menjalani hidup dan kemudahan dalam hal mencari rejeki, mereka juga percaya jika tidak mengadakan ruwahan maka akan mendapat kesulitan dalam menjalani hidup. 

Dalam kehidupan masyarakat Jawa juga berkembang suatu kepercayaan terhadap roh-roh halus yang hidup di sekitar manusia. Roh-roh halus tersebut ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Roh-roh yang bersifat baik sering membantu manusia misalnya menjaga desa dari berbagai gangguan, roh-roh penjaga desa itu sering disebut dan yang pepunden desa, maupun bisa disebut pula dengan Bureksa. Adapun roh-roh yang bersifat jahat adalah roh-roh yang cenderung sering menggangu kehidupan manusia dimanapun berada (Koentjaraningrat).

SISI POSITIF RUWAHAN & SADRANAN

Pada perkembangan selanjutnya, tradisi nyadran mengalami perluasan makna. Bagi mereka yang pulang dari rantauan, nyadran dikaitkan dengan sedekah, beramal kepada para fakir miskin, membangun tempat ibadah, memugar cungkup dan pagar makam.

Kegiatan tersebut sebagai wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah mendidik, membiayai ketika anak-anak, hingga menjadi orang yang sukses. Bagi perantau yang sukses dan kebetulan diberi rezeki berlimpah, pulang nyadran dengan beramal merupakan manifestasi hormat dan penghargaan kepada leluhur.

Bagi umat Islam sendiri, tradisi nyadran masih menimbulkan perdebatan. Itu karena ada dua pendapat berbeda, dikaitkan dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Kelompok pertama atau yang beraliran moderat, beranggapan bahwa ritual nyadran tidak perlu dilakukan karena bertentangan dengan hadits dan as sunnah. Nyadran sering digolongkan perbuatan syirik atau menyekutukan Tuhan. 

Sementara menurut kelompok kedua yang beraliran kultural, nyadran adalah kegiatan keagamaan yang sah-sah saja, asal tidak untuk menyembah leluhur atau pekuburan.
Terlepas dari perbedaan pendapat itu, penulis memandang perlu pelestarian tradisi nyadran. Selain sebagai wujud pelestarian budaya adhiluhung peninggalan nenek moyak, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi tradisi nyadran yang sangat relevan dengn konteks kekinian.

Hal ini karena prosesi nyadran tidak hanya sekedar gotong royong membersihkan makam leluhur, selamatan dengan kenduri, dan membuat kue apem ketan kolak sebagai unsur utama sesaji. Lebih dari itu, nyadran menjelma menjadi ajang silaturahmi, wahana perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme.

Ketika pelaksanaan nyadran, kelompok-kelompok keluarga atau trah tertentu, tidak terasa terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, agama, golongan, partai politik, dan sebagainya. Perbedaan itu lebur, karena mereka berkumpul menjadi satu, berbaur, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain.

Seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sinilah ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah.

Terasa sekali, warga sekampung seakan satu keturunan. Spirit nyadran itu bila dibawa dalam konteks negara, maka akan menjadikan Indonesia yang rukun, ayom, ayem dan tenteram. Inilah sisi positif tradisi nyadran yang kental dengan kearifan lokal (Agus Wibowo: Harian Sinar Harapan, 2008)


CATATAN TAMBAHAN :
Tradisi Mendoakan Arwah dalam Gereja Katolik

Setiap  Bulan November .Gereja Katolik merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus tanggal 01 November dan memperingati arwah semua orang beriman tanggal 02 November. Kedua perayaan itu mempunyai makna yang berdekatan dan berhubungan sehingga Gereja merayakannya secara berurutan. Setelah merayakan hari raya para orang kudus (baik yang diakui oleh Gereja, yaitu Santo-Santa, maupun yang tidak/belum dikenal),mereka mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia, dengan harapan mereka dapat bergabung dengan para orang kudus di surga. 

Dengan peringatan arwah orang beriman, paling tidak untukmengingatkan dan menyadarkan akan perjalanan hidup manusia yang panjang, yang akan melewati batas-batas hidup di dunia ini yang disebut kematian. Badan yang fana akan ditinggalkan tapi roh akan tetap ada. Persoalannya akan mendapat tempat dimana? Apakah akan berkeliaran saja bagaikan pengembaraan yang tiada henti atau membutuhkan tempat yang nyaman dan tentram dalam Tuhan.

Dengan mendoakan keluarga dan para leluhurnya yang telah meninggal dunia, mereka berupaya menghayati makna kematian, yaitu pintu masuk kepada kehidupan kekal. "Melalui permenungan atas akhir kehidupan  di dunia ini, kita akan berjuang mencapai kesucian hidup seperti yang telah diteladankan oleh para kudus sehingga kita nanti dapat bersatu dengan mereka dalam kehidupan kekal di surga"

Rupanya hidup yang diciptakan Tuhan ini lebih luas dari apa yang kita pikirkan atau jauh melebihi batas-batas kemampuan ratio kita. Maka sukses hidup kita bukan sekedar sukses dalam dunia sebagai orang yang mempunyai jabatan, kekuasaan dan harta yang banyak. Semuanya itu tidak akan dibawa mati. Yang harus dibawa adalah amalnya dalam hidup terhadap sesama. Maka kita harus sukses sebagai manusia beriman, dan itu hanya Tuhan yang bisa mengukur.
Gereja mengajak umatnya untuk mengusahakan dalam hidup ini HARTA yang tidak bisa dimakan ngengat atau tidak bisa dicuri tetapi yang dapat  dipersembahkan kepada Tuhan. Dan selain itu selama bulan arwah gereja mengajak agar umatnya selalu ingat akan saudara saudarinya (leluhur & nenek moyang)  yang sudah meninggal dan mendoakannya supaya mereka mendapat kebahagiaan  di Alam Keabadian (Surga) dan supaya mereka yang sudah bahagia dalam  di Alam Keabadian juga menjadi pendoa-pendoa bagi kita yang masih berjuang di dunia.


REFLEKSI RUWAHAN & SADRANAN
oleh : Ki Sabdalangit Ae Banyusegoro


Bagi masyarakat Jawa khususnya bulan Arwah mempunyai makna penting sebagai momentum bagi semua yang masih hidup untuk mengingat jasa dan budi baik para leluhur, tidak hanya terbatas pada orang-orang yang telah menurunkan kita, namun juga termasuk orang-orang terdekat, para pahlawan, para perintis bangsa yang telah mendahului kita pindah ke dalam dimensi kehidupan yang sesungguhnya. Bulan Arwah juga merupakan saat di mana kita harus “sesirih” atau bersih-bersih diri meliputi bersih lahir dan bersih batin. Membersihkan hati dan pikiran sebagai bentuk pembersihan dimensi jagad kecil (mikrokosmos) yakni diri pribadi kita meliputi unsur wadag dan alus, raga dan jiwa.

Tidak  hanya sebatas pembersihan level mikrokosmos, selebihnya adalah bersih-bersih lingkungan alam di sekitar tempat tinggal kita, membersihkan desa, kampung, kuburan,  sungai, halaman dan pekarangan di sekeliling rumah, tak lupa membersihkan semua yang membuat kotor dan jorok dalam rumah tinggal kita. Bagi petani tak luput pula bersih-bersih sawah dan ladang. Semua itu sebagai bentuk pembersihan dimensi jagad besar (makrokosmos).

Selain makna tersebut, ritual ruwahan merupakan wujud bakti dan rasa penghormatan kita sebagai generasi penerus kepada para pendahulu yang kini telah disebut sebagai Leluhur (Jawa) atau Karuhun (Sunda). Pelaksanaan ritual ruwahan bukan tanpa konsep dan prinsip yang jelas. Ruwahan didasari oleh kesadaran spiritual masyarakat kita secara turun-temurun, di mana kita hidup saat ini telah berhutang jasa, berhutang budi baik kepada alam dan para leluhur pendahulu yang telah mendahului kita. Tak ada cara yang lebih tepat selain harus berbakti, setia dan berbakti kepada para leluhurnya yang telah mewariskan ilmu dan harta benda, termasuk bumi pertiwi, yang dapat dimanfaatkan oleh anak turunnya hingga saat ini.  

Ritual tradisi Ruwahan sebagai bukti kesetiaan dan sikap berbakti kepada lingkungan alam yang telah memberikan berkah berupa rejeki, tempat berlindung, hasil bumi, oksigen dan sebagainya. Karenanya hanya dengan kesetiaan serta berbakti, kita menjadi generasi penerus yang tidak mengkhianati leluhur, bangsa dan bumi pertiwinya. Berkhianat kepada para leluhurnya sendiri, maupun kepada bumi pertiwi di mana tempat kita menyandarkan hidup sudah pasti akan menyebabkan suatu akibat buruk. 

Pengkhianatan (ketidaksetiaan) dan kedurhakaan (tidak berbakti)  yang dilakukan generasi penerus, akan menimbulkan kesengsaraan pada diri pribadinya (mikrokosmos) dan sangat memungkinkan tertransformasi ke dimensi makrokosmos lingkungan alamnya. Sebaliknya, kesetiaan pada bumi pertiwi  yakni bumi di mana nyawa kita berpijak, kita hirup udara, kita mencari makan, dan berbakti kepada para leluhur yang menurunkan kita, merupakan satu rangkaian berupa kunci meraih kesuksesan hidup secara hakiki. Ketenangan, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan lahir dan batin akan berlimpah menghampiri kita setiap saat.


APA YANG TERJADI ?

Namun yang paling penting dari tradisi Ruwahan yang sudah turun temurun sejak ratusan atau bahkan mungkin ribuan tahun silam itu adalah terjadinya interaksi dan bahkan komunikasi dua pihak. Yakni pihak orang-orang yang masih hidup dengan pihak leluhur. Bahkan saat bulan Arwah tiba, para leluhur menghentikan “aktivitasnya” untuk suatu “aktivitas” khusus yakni menyambut anak cucu keturunannya, maupun semua orang yang melakukan kegiatan bakti kepadanya, yang diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti membersihkan makam, sedekah dan sesaji, komat-kamit mengucapkan doa, dikir, mengucapkan mantera dan berbagai kalimat yang keluar dari hati nuraninya yang intinya berusaha sambung rasa dengan para leluhurnya. 

Artinya sejauh apa yang dapat kami saksikan, Tradisi Ruwahan ternyata bukanlah kegiatan yang sia-sia saja. Selain manfaat yang nyata dari kegiatan kebersihan, sungguh ada makna tersirat yang mendalam dan manfaat inheren yang sangat besar di dalamnya. Manfaat itu akan dialami bagi siapapun yang tulus dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Sebab apa yang saya dan teman-teman pernah saksikan, pada bulan arwah ini komunikasi dan interaksi dengan para leluhur terjadi lebih intens. Bisa diartikan bahwa para leluhur juga menganggap bulan arwah ini sebagai momentum rutin yang dulakukan setahun sekali untuk lebih intens berkomunikasi dengan anak cucu keturunan dan semua orang yang menghaturkan sembah bekti kepadanya. Itu artinya, leluhur mencurahkan perhatian kepada siapapun yang mewujudkan sembah baktinya kepada leluhur. 

Perhatian leluhur tidak sekedar “sowang-sowang nyawang saka kadohan” atau mengikuti sepak terjang kehidupan anak cucu keturunannya, lebih dari itu, mereka bahkan membimbing dan mengarahkan apabila anak cucu keturunannya akan menempuh jalan yang salah. Leluhur yang semakin tinggi derajat kemuliaannya tentu akan lebih mampu melakukan segala sesuatu kepada anak cucu keturunannya dan semua orang yang berbakti kepadanya. Anda jangan pernah pesimis tidak yakin apakah leluhurnya ada yang berprestasi meraih kemuliaan yang sejati. Di antara sekian ribu leluhur kita tentu tidak hanya satu dua saja yang mencapai kamulyan sejati. 

Persoalannya kemudian ada pada diri kita masing-masing, apakah masih mau menganggap penting sikap berbakti pada leluhur ataukah sebaliknya menganggap mereka sudah tak bisa apa-apa lagi, nun jauh di negeri antah berantah, tak bisa lagi berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak cucu keturunannya. Atau sikap lebih ekstrim yang menganggap interaksi dan kehadiran leluhur sebagai perwujudan godaan iblis setan jin peri prayangan. Jika demikian yang terjadi sangat mungkin leluhur sudah enggan membimbing dan mengarahkan kita sehingga sikap ekstrim kita semakin menjadi-jadi. Namun juga tak jarang terjadi sebaliknya, pada saat ada salah satu anak keturunannya bersikap terlampau ekstrim, ada satu dua leluhurnya yang kemudian menyadarkannya.


TATA CARA TRADISI RUWAHAN

Tradisi Ruwahan mempunyai tatacara yang sederhana saja. Yakni diawali dengan membuat sesaji, yakni sesuatu yang bermakna. Berupa kolak pisang, kolak ubi jalar, ketan kukus, serta makanan tardisional bernama kue apem. Kolak pisang dan ubi jalar berupa kolak kering (hanya direbus dengan air gula dan santan kelapa, jangan lupa ditambah sedikit garam agar lebih nikmat). Dapat juga ditambahkan dan ditambahkan sedikit garam, kayu manis, dan cengkeh. Sementara itu kue apem dibuat dengan bahan dasar terdiri dari tepung beras, gula jawa atau gula merah, bisa juga ditambah santan kelapa dan parutan kelapa sesuai selera. Adapula yang menambahkannya dengan buah nangka ke dalam adonan kue apem. Selanjutnya adonan dicetak bundar-bundar di atas tungku api. Untuk ketan, cukup dikukus atau diliwet sebagaimana umumnya memasak ketan. Lihat gambar. Setelah ubo rampe sesaji ruwahan selesai dibuat dan siap saji, selanjutnya siap untuk dibagi-bagikan kepada para tetangga. Upayakan kita berbagi minimal kepada 7 kk, sukur bisa lebih hingga 17 kk. Seluruh sesaji itu seluruhnya berupa makanan tradisional. Mengapa demikian, tentu saja leluhur yang hidup di masa lalu kemungkinan besar makanan favoritnya sebatas sebagimana sesaji yang ada di dalam tradisi ruwahan itu. Barangkali kelak jika kita semua telah menjadi leluhur akan mempunyai selera makanan yang berbeda. Hal itu menentukan pula ragam sesajinya. Karena leluhur dapat menyampaikan pesan-pesan kepada anak cucu keturunannya atau orang-orang yang mampu berkomunikasi. Ada yang melalui mimpi, bisikan atau wisik, melalui suatu pertanda alam, melalui rasa sejati, dan bahkan melalui penglihatan visual. Selain alasan di atas, makanan tradisional yang dipilih dalam sesaji tentunya masing-masing mempunyai arti. Sehingga dapat dikatakan, makanan atau ragam sesaji merupakan bahasa simbul yang dapat mewakili sejuta kata dan ribuan kalimat. Dengan sesaji, maksud dan tujuan yang sangat luas jika dijabarkan satu-persatu, dikemas menjadi ringkas padat dan berisi. Sebagaimana pepatah dalam spiritual Jawa yang mengatakan,”ngelmu iku yen ginelar bakal ngebaki jagad, yen ginulung sak mrico jinumput”. Ilmu jika digelar akan memenuhi jagad raya, jika dilipat (diringkas) dapat menjadi sekecil biji merica.


RAGAM & MAKNA SESAJI TRADISI RUWAHAN

Ketan; “ke-mut-an” artinya terkenang, teringat. Maksudnya teringat akan apa yang dilakukan di masa lalu. Jangan melupakan sejarah (jasmerah), yakni jasa kepahlawanan, pusaka warisan, dan peninggalan para leluhur yang hidup di masa lalu. Yang dapat dinikmati oleh generasi penerus, anak turunnya yang hidup di masa kini. Ketan bersifat lengket bermakna pula harapan adanya tali rasa yang akan menjadi perekat hubungan antara leluhur dengan anak cucu keturunannya dan semua orang yang menghaturkan sembah bakti kepadanya. Bahasa prokemnya “keep contact”.

Kolak pisang ; mewakili pala gumantung, hasil bumi yang buahnya menggantung. Dibuat untuk mengingatkan kita selalu teringat akan kesalahan (Jawa; keluputan) yang pernah kita lakukan kepada orang tua dan para leluhur serta kepada Sang Jagadnata. Sehingga kita menjadi orang yang selalu mengevaluasi diri dan setiap saat mau berbenah diri. Selain itu, pala gumantung mengingatkan kita supaya batin dan rasa sejati masih tetap tersambung dengan Gusti Sang Jagadnata, termasuk kepada para leluhurnya yang telah hidup di alam sejati. Pisang sebagai pala gumantung mengingatkan kita, hendaknya selalu memiliki sifat tabiat langit atau angkasa. Sebagaimana telah saya posting di dalam Pusaka Hasta Brata, dikiaskan sebagai mulat laku jantraning akasa. (lihat dalam Pusaka Hasta Brata).

Kolak ubi jalar ; mewakili pala kependem, hasil bumi yang buahnya berada di dalam tanah. Dibuat untuk melambangkan adanya kesalahan para leluhur kepada sesama manusia. Selain itu, pala kependem, memiliki pesan bahwa manusia hendaknya tetap berpijak di bumi. Memiliki sifat-sifat humanis, serta mulat laku jantraning bumi, yakni perilaku manusia yang andap asor tidak sombong, congkak, takabur, sikap mentang-mentang, golek benere dewe, golek butuhe dewe, golek menange dewe.  Sebaliknya harus mencontoh sifat-sifat bumi yang selalu memberikan berkah sekalipun bumi diinjak-injak oleh manusia dan seluruh makhluk penghuninya. Pala kependem yang diolah menjadi makanan kolak ubi jalar, mengingatkan kita hendaknya menjadi orang selalu melakukan “tapa mendhem” (bertapa mengubur diri) yakni mengubur segala amal kebaikan yang pernah kita lakukan pada orang lain dari ingatan kita. Agar supaya tidak mencemari ketulusan kita dan di suatu saat tidak membangkit-bangkit kebaikan kita pada orang lain. (lihat dalam Pusaka Hasta Brata).

Apem ; dibuat untuk melambangkan adanya harapan suatu ampunan akan kesalahan di masa lalu. Kue apem berbentuk bundar atau bulat melingkar. Sebagai perlambang adanya kebulatan tekad dalam melaksanakan ritual, yakni kemantaban hati untuk mewujudkan rasa berbakti   kepada leluhur bukan hanya sebatas lips-service, sebatas ucapan dan kata-kata dalam doa. Lebih dari itu diwujudkanlah dalam sikap, tindakan, dan perbuatan nyata dalam kehidupaan sehari-hari, dalam hal ini kegiatan bersih-bersih meliputi jagad kecil dan jagad besar. Di dalam kue apem terdapat bahan-bahan berupa beras ketan, kelapa/santan, gula dan sedikit garam, serta bahan pengharum makanan. semua bahan dibuat adonan, kemudian dibakar dalam cetakan bundar-bundar. Semua itu memuat pesan yakni adanya proses dalam kehidupan dan pentingnya penyelarasan dan harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar dalam kehidupan semesta ini.

Berbagi Sedekah. Selanjutnya semua ubo rampe dapat dikemas dalam dus, atau cukup disajikan di atas piring untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada para tetangga. Maknanya adalah manusia hidup di bumi ini hendaknya mau saling berbagi, bersedekah, dan berwatak saling mengasihi, welas asih, asah asih asuh kepada sesama dan seluruh makhluk.
Setelah berbagi makanan ubo rampe sesaji tersebut kepada para tetangga, barulah selanjutnya diisi dengan kegiatan ziarah atau menabur bunga ke makam para leluhurnya sendiri satu persatu. Ziarah bisa dilakukan pada hari berikutnya, karena waktunya tersedia cukup leluasa hingga sebulan penuh selama bulan Arwah belum habis.


MAKNA RITUAL

Selama bulan arwah atau Ruwah, masyarakat melakukan ritual bersih-bersih desa, kampung, makam, dan rumah.

Bersih-Bersih Makam; merupakan wujud kesetiaan dan rasa berbakti generasi penerus atau anak turun kepada para leluhurnya. Kesetiaan dan bakti akan tumbuh seiring kesadaran spiritual seseorang yang dapat memahami betapa kita hidup sekarang ini telah berhutang budi, berhutang nyawa, berhutang kemerdekaan bangsa, berhutang hutan yang hijau dan tidak rusak, sungai yang jernih, lautan masih menyimpan kekayaaan besar, berhutang budi baik dan pengorbanan, maupun berhutang harta benda warisan dari orang-orang yang menurunkan kita semua. Bersih-bersih makam merupakan salah satu cara berbakti yakni untuk membalas kebaikan para leluhur atau pendahulunya.

Bersih-bersih sungai, desa, ladang dan rumah; merupakan wujud penghargaan dan rasa terimakasih kita kepada alam, kepada bumi yang telah melimpahkan rejeki bagi manusia. Tanah yang subur, hutan yang menghijau, sungai-sungai mengalir jernih. Semua itu merupakan berkah agung dari Sang Hyang Jagadnata, berkah yang masih mengalir karena perilaku dan sikap bijaksana para leluhur pendahulu bangsa yang hidup di masa lalu. Mereka  tidak merusak dan mengeksploitasi hutan, gunung, sungai, lautan karena kesadaran super-egonya bahwa anak cucu keturunannya, dan generasi penerus bangsa kelak masih sangat membutuhkan semua itu. Al hasil, anak turunnya, generasi penerus bangsa di masa kini masih bisa merasakan limpahan anugrah agung tersebut di masa kini.  Lantas pertanyaannya, apakah yang telah dilakukan oleh generasi sekarang serupa dengan apa yang dilakukan leluhur para pendahulu kita di masa lalu ?


Ziarah/Nyekar, atau menabur bunga di pusara leluhur. Kegiatan itu bermakna sebagai “atur sembah bekti” atau sikap menghaturkan rasa berterimakasih, sikap berbakti, sekaligus wujud nyata rasa welas asih, dan penghormatan setingginya atas seluruh jasa dan budi baik leluhur di masa lalu. Meskipun menabur bunga belumlah  sebanding dengan jasa-jasa leluhur kepada kita semua, kepada bangsa ini namun hal itu masih lebih berharga daripada hanya sekedar di rumah duduk manis sambil komat-kamit mengirim doa. Itu namanya perilaku golek penake dewe, lebih suka mencari-cari alasan pembenar atas sikapnya yang selalu mencari enaknya sendiri, daripada berkorban beaya, waktu dan berusaha yang nyata. Ironisnya “penyakit kejiwaan” golek benere dewe seperti itu biasanya menjadi lahan subur untuk bersemainya sikap pamrih dibarengi harapan-harapan tidak realistis & melambung tinggi. Lantas bagaimana seseorang bisa belajar tentang arti sebuah ketulusan ? Saya yakin para pembaca yang budiman di sini sudah menjadi pribadi yang merdeka dari hegemoni “penyakit jiwa” semacam itu. Hingga menyelesaikan membaca tulisan sampai pada baris kalimat ini.

(Silakan link ke : http://sabdalangit.wordpress.com/category/javanese-tradition/memahami-tradisi-bulan-arwah/)


JSP-KKS
10 Juni 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar